Semarang, Harianblora.com – Guru revolusioner adalah guru
komplit dan di atas profesional. Ia tak sekadar cerdas, memiliki IPK
tinggi saat wisuda, namun di dalam jiwa dan hatinya terdapat spirit dan ruh
tinggi untuk mengubah pendidikan secara mendasar dan menyeluruh. Selain rajin
meneliti, guru revolusioner itu ya rajin menulis, melek IT, selalu belajar dan
di dalam jiwa dan pikiran serta hatinya tersemat perubahan secara mendasar dan
menyeluruh.
“Ia mengubah wajah pendidikan menjadi bercahaya dan
berseri-seri,” ujar Hamidulloh Ibda, saat acara Diskusi dan Bedah Buku Siapkah
Saya Menjadi Guru SD Revolusioner, Jumat (6/3/2015) sore yang digelar secara
lesehan.
Guru revolusioner itu, kata Ibda, awal mulanya muncul zaman Tan Malaka. "Revolusi yang saya buat rujukan di buku ini ya meliputi revolusi industri, aufklarung, renaissance, revolusi nasional Indonesia, sampai idiom ubermens dan rausyanfikr," beber dia.
Guru revolusioner itu, kata Ibda, awal mulanya muncul zaman Tan Malaka. "Revolusi yang saya buat rujukan di buku ini ya meliputi revolusi industri, aufklarung, renaissance, revolusi nasional Indonesia, sampai idiom ubermens dan rausyanfikr," beber dia.
Diskusi dan bedah buku tersebut merupakan agenda yang
diselenggarakan oleh bidang PTKP Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat
Tarbiyah Walisongo Semarang di gedung Graha Bina Insani Korkom Walisongo
Semarang.
Menurut Ibda, saat ini guru-guru masih kaku dan hanya
berpatokan pada UUGD 2005. “Guru revolusioner itu memang langka, dan dalam buku
ini sudah saya jelaskan. Meskipun terkesan memaksa, namun saya optimis dengan
buku ini akan memotivasi semua mahasiswa dan guru untuk terus belajar, belajar
dan menciptakan perubahan mendasar dan menyeluruh dimulai dari pendidikan,”
beber Direktur Utama Forum Muda Cendekia (Formaci) Jawa Tengah tersebut.
Selain mendekonstruksi makna dan epistemologi revolusi serta
revolusioner, Ibda dalam diskusi tersebut juga membongkar kesalahan pendidikan
selama ini. “Banyak sekali makna subhat mulai dari pendidikan, pembelajaran,
guru, peserta didik, anak didik, siswa, pelajar dan sebagainya,” tukas dia.
Kalau mau jadi guru, lanjut dia, hal utama yang harus
diketahui adalah paradigma paratekenis. “Setelah itu, baru belajar tentang
paradigma didik dan paradigma ajar,” tegas dia. Kalau pengertian paratekenis
saja tidak tahu, ya pasti muridnya kacau lah.
Di sela-sela agenda, banyak peserta yang bertanya, mengapa
guru revolusioner harus guru SD. Dengan tegas, Hamidulloh Ibda menjawab bahwa
guru ada adalah guru semua guru. “SD itu pendidikan dasar, melandasi semua
jenjang pendidikan selanjutnya. Kalau di SD gagal, ya SMP, SMA dan perguruan
tingginya nanti bisa gagal. Begitu pula sebaliknya. Banyak profesor bilang,
kalau mendidik anak SD itu lebih sulit dan susah daripada mendidik mahasiswa. Kalau
tidak percaya, silahkan coba sendiri,” beber mahasiswa Pendidikan Dasar
Pascasarjana Unnes tersebut.
Kan sudah jelas, lanjut Ibda, bahwa guru itu guruku, gurumu
dan guru kita semua.
Muhammad Mahmudi selaku pembedah buku juga menuturkan,
menjadi guru itu bisa mudah dan sulit. “Kalau di dalam buku ini, menjadi guru
sangat mudah kalau ada niat, keseriusan tinggi, motivasi mengabdi tanpa
mengejar recehan dan tidak salah jurusan saat kuliah. Kalau guru SD ya harus
lulusan PGSD,” beber pengurus HMI Komisariat Tarbiyah Walisongo Semarang
tersebut.
Mahmudi juga memberi kritik dan saran atas buku yang terbit
pada Hari Guru tersebut. “Banyak kekurangan dan kelebihan dalam buku ini. Namun
penulis sengaja dan ikhlas untuk mengajak semua guru untuk menjadi insan
revolusioner,” beber aktivis tersebut. (Red-HB38/Foto: HMI). Baca juga: HMI Bedah Buku Siapkah Saya Menjadi Guru SD Revolusioner?
0 comments:
Post a comment