Harianblora.com Mengucapkan Selamat Menjalankan Puasa Ramadan&Mengajak Warga Jaga Kesehatan&Memutus Penyebaran Corona

Latest News

Kabar bahagia! bagi Anda, mahasiswa, guru, dosen dan siapapun yang ingin menerbitkan buku mudah dan murah, silakan kirim naskah ke formacipress@gmail.com dan kunjungi www.formacipress.com

Saturday 9 May 2015

Etika Politik Pancasila Antara Ada dan Tiada

Oleh : Astika Mara Nur Fatima

Demokrasi merupakan pemerintahan rakyat, di mana rakyatlah yang menjadi pemegang utama dalam pemerintahan. Segala hal yang berhubungan dengan pelaksanaan pemerintahan dalam suatu negara, berada di tangan rakyat. Di negara-negara yang menganut faham demokrasi, gagasan mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar ideologis bahwa rakyat berhak turut menentukan siapa saja yang akan menjadi pemimpin yang nantinya menentukan kebijaksanaan umum (public policy).

Salah satu asas negara demokrasi adalah adanya pengakuan dan partisipasi rakyat di dalam pemerintahan yang dilaksanakan melalui Pemilihan Umum (Pemilu) yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, serta dengan pengawasan-pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Pemilu dilakukan untuk memilih orang yang paling tepat memimpin negara, baik daerah maupun pusat. Di dalam Pemilu mengandung unsur politik. Ini terbukti dengan adanya partisipasi dari partai-partai politik di dalam Pemilu.

Pengertian ‘Politik’ berasal dari kosa kata ‘Politics’ yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau ‘negara’ yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu.  Jadi, politik merupakan macam-macam kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan bersama, khususnya dalam urusan pemerintahan dalam suatu negara.

Namun demikian, pengertian politik sebagai usaha untuk mencapai suatu masyarakat yang lebih baik dari yang dihadapi, atau yang disebut Peter Merkl, a noble quest for good order and justice (usaha mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan keadilan)  walaupun samar, tetapi tetap hadir sebagai latar belakang serta tujuan kegiatan politik.

Di dalam kegiatan politik pasti terdapat partai politik. Secara umum dapat dikatakan bahwa,
“Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kekuasaan politik – (biasanya) dengan cara konstitusionil – untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.”

Jadi, partai politik merupakan suatu perkumpulan/organisasi yang di dalamnya terdapat anggota-anggota yang memiliki tujuan yang sama untuk memperoleh kedudukan dan kekuasaan politik dengan cara-cara tertentu, di mana para anggota saling bekerja sama mendukung partai politiknya masing-masing.

Selama ini, politik sering dijuluki dengan istilah “kotor”. Sebenarnya yang mengotori politik adalah masyarakat sendiri yang melakukan berbagai penyimpangan dalam berpolitik, terutama di Indonesia. Dapat kita lihat, banyaknya penyimpangan yang terjadi menyongsong Pemilu tahun 2014. Pada kenyataannya, beberapa masyarakat Indonesia, masuk ke dunia politik dan memanfaatkan politik sebagai sarana untuk meningkatkan pendapatan tanpa menghiraukan etika dalam berpolitik. Mereka memanfaatkan dunia politik untuk kepentingan pribadi. Padahal, dalam politik sendiri terdapat suatu etika politik yang erat kaitannya dengan nilai, norma, dan moral.

Di dalam Dictionary of Sosciology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia.  Jadi, dalam hal ini, nilai berarti kandungan pada suatu benda, bukan benda itu sendiri. Nilai merupakan suatu kenyataan yang tersembunyi yang ada dalam suatu benda. Adanya nilai merupakan wujud dari adanya suatu kenyataan. Misalnya, perilaku calon legislatif itu bijaksana. Bijaksana merupakan kata sifat dan sekaligus menjadi nilai dari subjek/objek tersebut. Adanya sifat bijaksana karena adanya calon legislatif yang berupa benda nyata.

Nilai merupakan suatu hal yang abstrak tetapi nyata dan tersembunyi. Agar nilai menjadi lebih berguna, maka perlu diwujudkan agar manusia mengetahui adanya nilai tersebut. Perwujudan dari nilai disebut norma. Norma merupakan perbuatan lebih lanjut karena adanya nilai. Misalnya, perilaku calon legislatif itu sangat bijaksana karena melakukan kampanye dengan tertib. Bijaksana merupakan nilai, dan melakukan kampanye dengan tertib adalah salah satu bentuk dari norma yang merupakan kelanjutan dan timbal balik dari nilai tersebut.

Kemudian, nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Moral merupakan penuntun sikap manusia dalam menjalankan norma yang timbul akibat nilai. Lalu, etika merupakan ilmu pengetahuan tentang moral. Jadi, hubungan antara nilai, norma, moral, dan etika sangat erat, karena norma merupakan perwujudan dari nilai dan dalam menjalankan norma tersebut diperlukan prinsip/pedoman tingkah laku manusia yang disebut moral, serta untuk mengetahui moral tersebut diperlukan suatu ilmu yaitu etika.

Dalam kehidupan demokrasi Pancasila, itu berarti segala hal yang ada di Indonesia bersumber pada nilai-nilai Pancasila. Pancasila terdiri dari lima sila yang mengandung nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia. Kemudian, untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari diwujudkan dalam norma-norma yang akhirnya menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Indonesia (mengatur moral masyarakat). Norma-norma tersebut adalah norma moral, etika, dan hukum.

Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, pasti melibatkan politik yang mengandung etika. Etika politik memiliki dua prinsip umum yakni hukum dan kekuasaan. Kedua prinsip tersebut dijalankan sesuai dengan asas legalitas (legitimasi hukum), yaitu disahkan dan dijalankan sesuai hukum yang berlaku, disahkan dan dijalankan secara demokratis (legitimasi demokrasi), dan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral).

Sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut, Pancasila hadir sebagai etika politik. Pancasila merupakan dasar yang mendasari segala tindakan manusia termasuk dalam dunia politik. Sila-sila dalam Pancasila mengandung nilai-nilai yang erat kaitannya dengan legitimasi dalam etika politik.

Sila pertama Pancasila yang berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa” mengandung nilai-nilai keimanan, ketaqwaan, menghormati antar pemeluk agama, menjalin kerukunan antar umat beragama, dan tawakal berhubungan dengan legitimasi religius yang berarti legitimasi moral kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun, negara Indonesia bukan merupakan negara teokrasi yang mendasarkan kekuasaan atas legitimasi religius semata, melainkan manusia juga memiliki peran yang cukup besar.

Sila kedua Pancasila berbunyi, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” merupakan sumber-sumber nilai moralitas dalam kehidupan, karena manusia merupakan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Dalam sila ini, mengandung nilai-nilai tenggang rasa, menghargai orang lain, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) yang pada intinya mengangkat harkat dan martabat manusia. Sila kedua ini menyangkut dengan legitimasi moral di mana negara dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip moral manusia. Jadi, antara sila pertama dan sila kedua memiliki kesamaan dalam hal legitimasi moral, baik dengan Tuhan maupun dengan manusia yang lainnya.

Sila ketiga Pancasila berbunyi, “Persatuan Indonesia” mengandung nilai-nilai persatuan, kekeluargaan, kerja sama, rela berkorban, serta hal-hal yang berhubungan dengan bangsa dan rasa cinta tanah air. Sila ketiga ini merupakan bentuk legitimasi moral yang berperan sebagai penyatu bangsa. Dalam sila ini, tercermin suatu bangsa yang menginginkan kehidupan rukun, tentram, aman, dan damai.

Sila keempat Pancasila berbunyi, “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan” merupakan bentuk realisasi dari legitimasi demokrasi/rakyat. Dalam sila keempat ini mengandung nilai-nilai musyawarah, demokratis, rembuk bersama, tidak memaksakan kehendak, dan menghargai pendapat orang lain. Sila keempat ini mencerminkan keadaan bangsa yang mencintai kehidupan demokratis.

Sila kelima Pancasila berbunyi, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” mengandung nilai-nilai adil, saling membantu, sederhana, dan bekerja keras. Sila ini merealisasikan legitimasi hukum, karena hukum merupakan suatu hal yang mengatur masyarkat untuk mencapai keadilan.

Susunan kelima sila dalam Pancasila ternyata membentuk piramida yang bersifat hierarkhis di mana satu sila dapat menjiwai sila-sila yang lain. Kesatuan sila-sila tersebut terwujud dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar dari kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.  Jadi, Pancasila membentuk suatu piramida dengan Tuhan sebagai pencipta manusia dan manusialah yang menjalankan kehidupan yang berhubungan dengan manusia lain berdasarkan hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan untuk mencapai persatuan dan keadilan.

Pancasila sebagai etika politik telah membuktikan bahwa dalam sila-sila Pancasila mengandung berbagai macam legitimasi yang ada dalam kehidupan berpolitik. Sila-sila dalam Pancasila tersebut pada intinya mengandung makna yang berhubungan dengan Tuhan dan manusia yang lain. Yang perlu digaris bawahi adalah moralitas, yakni menyangkut baik-buruknya manusia dihadapan Tuhan dan manusia yang lain, sehingga Pancasila merupakan etika politik bangsa Indonesia.

Pancasila lahir sebagai etika politik kini tersusupi oleh hakekat manusia sebagai makhluk yang tidak pernah puas dan tidak bisa mengontrol diri sehingga terjadi banyak penyimpangan dalam kegiatan Pemilu khususnya, seperti banyaknya masyarakat Indonesia yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif maupun eksekutif tanpa memperhatikan kualitas diri.

Indonesia merupakan satu-satunya negara penganut demokrasi Pancasila yang meletakkan Pancasila sebagai dasar dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Pancasila terdiri dari lima sila. Sila-sila tersebut saling keterkaitan dan membentuk kesatuan yang dinamis. Pancasila juga merupakan pandangan hidup bangsa yang mengatur etika bangsa Indonesia dalam berperilaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila benar-benar menjadi tonggak bangsa Indonesia di tengah krisis moral dan etika yang dialami bangsa Indonesia dalam kehidupan berdemokrasi.

Namun, di zaman yang serba modern ini, nilai-nilai mulia yang terkandung dalam Pancasila mulai luntur. Di tengah kemajuan zaman dan globalisasi, posisi Pancasila kian tenggelam. Terbukti dengan banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak mengerti apa itu Pancasila. Bahkan sila yang berjumlah lima dan sangat singkat itu banyak yang tidak hafal. Kemudian, banyak juga masyarakat Indonesia yang secara langsung maupun tidak langsung melanggar Pancasila, seperti pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), pelecehan seksual, permusuhan, dan yang paling berhubungan dengan demokrasi adalah pelanggaran dalam Pemilu. Benar-benar, masyarakat Indonesia kini sedang dilanda krisis moral dan etika sehingga dalam hal berdemokrasi pun seolah tidak menghiraukan moral dan etika. Apalah arti moral politik tanpa ada etika berpolitik.

Dalam kegiatan Pemilu, sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat yang nantinya tidak terpilih menjadi anggota legislatif maupun eksekutif akan mendapatkan “uang malu”. Hal ini menunjukkan bahwa rasa malu bisa dibayar dengan uang. Dalam pencalonan diri sebagai anggota legislatif maupun eksekutif, money politics (suap) juga merupakan suatu hal yang sudah membudaya. Dengan mudahnya transaksi dalam politik dilakukan. Tentu saja masyarakat Indonesia yang sebagian besar berpendapatan rendah akan tergiur untuk menerimanya. Mereka tidak menghiraukan etika politik, yang penting mendapatkan uang untuk menunjang kehidupan di tengah arus globalisasi yang semakin kuat. Dalam kasus tersebut, baik dari masyarakat biasa maupun masyarakat yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif maupun eksekutif, sudah kehilangan rasa malu. Mereka dengan mudahnya melakukan transaksi dalam politik dengan tidak mengindahkan moral dan etika sebagai bangsa Indonesia. Sebenarnya perlu dipertanyakan mengenai moral dan etika bangsa Indonesia.

Duduk di kursi anggota legislatif maupun eksekutif adalah sebuah amanah. Kedudukan tersebut tentu saja harus dipegang oleh orang-orang yang tepat dan berkompeten. Pada pemilu tahun 2014 ini, berbagai kalangan datang untuk mencalonkan diri, bahkan sampai kalangan artis. Pemilu dilaksanakan untuk memilih para pemimpin yang berjiwa aktivis dan kritis, bukan hanya eksis. Tidak salah jika mereka mencalonkan diri, tetapi yang terpenting adalah mengenai kualitas diri. Menjadi anggota legislatif maupun eksekutif bukanlah sebuah keinginan untuk eksis apalagi sarana untuk mencari uang.

Menjelang Pemilu tahun 2014 ini, di sepanjang jalan banyak sekali terpampang banner dan spanduk gambar para calon anggota legislatif maupun eksekutif. Berbagai macam cara mereka tempuh untuk memenangkan pemilu 2014 kali ini. Mulai dari kampanye, memasang foto besar-besaran, dan yang tidak kalah penting adalah money politics (suap) agar mendapat suara dari masyarakat. Seolah mereka sudah tidak menghiraukan lagi kualitas diri sendiri.

Belum lagi, ketika para calon anggota legislatif maupun eksekutif melakukan money politics. Mereka menyebarkan uang agar diri mereka terpilih. Sosok seperti itu bukanlah sosok seorang wakil rakyat. Mereka menganggap masyarakat seperti budak yang mudah dibungkam dengan uang. Uang ibarat peluru yang mampu melumpuhkan etika berpolitik. Namun, masalah tidak berhenti di situ saja, bahkan masyarakat sebagai pemilih pun juga semakin kehilangan rasa malu. Dengan mudahnya menerima uang yang jelas tak bernilai halal itu. Alasan ekonomi memang menjadi alasan yang utama untuk menerima uang tersebut. Bukan hanya dari kalangan yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif maupun eksekutif, tetapi dari kalangan masyarakat pun harus menghilangkan istilah politik yang kotor itu dengan penerapan budaya rasa malu pada diri mereka.  Maka dari itu, masing-masing individu harus mengerti akan etika politik Pancasila, agar dapat menjalankan politik sesuai Pancasila.

Padahal sudah diatur dalam Pasal 73 ayat 3 Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 yang berbunyi :
“Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu.”

Jadi, baik dari pihak yang memberi maupun pihak yang menerima uang Pemilu untuk membujuk agar calon tersebut terpilih, akan mendapatkan sanksi.

Pancasila sebagai etika politik benar-benar telah musnah. Bahkan yang lebih parahnya lagi, banyak anggota legislatif maupun eksekutif yang sekarang menjabat tidak mengetahui apa itu Pancasila. Padahal, Pancasila sebagai etika politik merupakan patokan dalam menjalankan kehidupan berpolitik. Selain itu, mereka yang telah menjabat sering tidur saat rapat. Seakan amanah rakyat yang ada di pundak mereka tak mereka hiraukan. Belum lagi, banyaknya kasus korupsi yang melibatkan anggota legislatif maupun ekselutif. Korupsi memang sudah menjadi hal biasa yang terjadi di kalangan anggota legislatif/eksekutif. Pancasila sebagai etika politik seolah benar-benar diantara ada dan tiada, sehingga mereka dengan bebas berpolitik tanpa menghiraukan rasa malu.

Seharusnya masyarakat Indonesia malu akan tindakan yang tidak sesuai dengan Pancasila sebagai etika politik. Apalagi sila pertama yang menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang berTuhan. Maka dari itu, nilai-nilai Pancasila sebagai etika politik benar-benar menjadi dasar bagi kehidupan demokrasi di Indonesia dan harus dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Etika politik Pancasila seperti telah tiada padahal sebenarnya etika politik Pancasila itu ada nyatanya.

Politik memang sudah tercap "kotor", tetapi tidak menutup kemungkinan untuk membersihkan politik tersebut karena bangsa Indonesia memiliki Pancasila yang berisi nilai, norma, dan moral bangsa. Untuk meningkatkan moral dan etika bangsa dalam kehidupan berdemokrasi dapat dilakukan dengan menerapkan budaya rasa malu, karena dengan adanya budaya rasa malu, bangsa Indonesia akan lebih memahami arti etika politik yang sebenarnya. Penerapan budaya rasa malu itu dapat dilakukan melalui kesadaran akan kualitas diri, kesadaran akan adanya Tuhan, dan penerapan hukum yang tegas bagi pelaku penyimpangan dalam politik.

Kesadaran akan kualitas diri sangatlah penting dalam dunia politik. Yang tahu akan diri kita adalah diri kita sendiri. Kesadaran akan kualitas yang ada dalam diri dapat membawa keadaan politik yang lebih baik, karena kita menyadari seberapa pantas diri kita untuk mengemban amanah rakyat. Kita seharusnya malu pada negara Jepang karena orang Jepang yang memiliki jabatan, ketika ia melakukan kesalahan, contohnya minum-minuman keras dan di ekspos ke media massa, ia secara langsung akan mengundurkan diri dari jabatannya, karena adanya rasa malu. Maka dari itu, sangat perlu untuk memahami diri sendiri beserta kualitasnya.

Kemudian, kesadaran akan adanya Tuhan. Negara Indonesia adalah negara pluralisme beragama. Walaupun plural (majemuk), tetapi masyarakat Indonesia mempercayai akan adanya Tuhan. Tuhan lah yang menciptakan kita dan kita akan mempertanggungjawabkan kehidupan di hadapan-Nya kelak. Kita tahu bahwa Tuhan Maha Melihat segala tindakan kita. Di dalam kehidupan berpolitik, perlu ditingkatkan kepercayaan akan adanya Tuhan, sehingga politik pun akan berasa berTuhan. Selama ini, banyak terjadi korupsi dan money politics karena kurang adanya rasa percaya akan adanya Tuhan. Padahal Tuhan mengetahui segala apa yang kita lakukan.

Selanjutnya, penerapan hukum yang tegas bagi pelaku penyimpangan dalam politik juga merupakan hal yang perlu dilakukan. Tetapi, sebelum dibuat suatu hukum tersebut, perlu adanya ketegasan dari pembuat hukum itu sendiri karena di Indonesia telah terkenal istilah kerjasama hukum, artinya orang-orang pembuat hukum tersebut juga bekerja sama dengan para pelaku politik guna mendapatkan keuntungan pribadi. Maka dari itu, agar politik di Indonesia dapat berjalan dengan lebih baik, perlu adanya hukum yang jelas mengatur para pelanggar politik.

Dengan adanya berbagai macam penerapan tersebut, diharapkan masyarakat Indonesia akan menyadari perasaan malu mereka dan menjalankan politik dengan baik sehingga dapat menghilangkan istilah politik kotor yang selama ini beredar dan menghapus krisis moral dan etika bangsa sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bermoral dan beretika sesuai dengan etika politik Pancasila.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai dalam Pancasila sebagai sumber etika politik sangat erat kaitannya dengan nilai, norma, dan moral serta meliputi legitimasi moral (sesuai sila 1,2 dan 3), legitimasi demokrasi (sesuai sila 4), dan legitimasi keadilan (sesuai sila 5). Pancasila sebagai etika politik berkedudukan sebagai ilmu pengetahuan tentang moral politik untuk menjalankan berbagai kegiatan politik, sehingga moral bangsa Indonesia akan semakin membaik, khususnya dalam dunia politik.

Dalam kehidupan demokrasi di Indonesia saat ini, diperlukan implementasi budaya rasa malu dalam praktik kehidupan berdemokrasi di Indonesia yang dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti kesadaran akan kualitas diri, kesadaran akan adanya Tuhan, dan penerapan hukum yang tegas bagi pelaku penyimpangan politik.

Bagi anggota legislatif/eksekutif dan calon anggota legislatif/eksekutif diharapkan mampu mengkoreksi diri dan melihat kualitas yang ada pada diri mereka sehingga dapat membawa Indonesia menjadi negara yang lebih baik dengan menjunjung etika berpolitik. Selain itu, perlu ditanamkan rasa malu jika melakukan tindakan penyimpangan politik, seperti money politics dalam Pemilu.

Bagi masyarakat Indonesia diharapkan mampu menjadi pemilih yang cerdas dalam Pemilu 2014 dan Pemilu pada tahun-tahun mendatang sehingga Indonesia menjadi negara yang lebih baik lagi. Masyarakat Indonesia diharapkan memiliki rasa malu untuk menerima uang suap, karena pemimpin yang dapat memegang amanah rakyat tidak bisa dinilai dengan uang.

Bagi siswa generasi muda penerus bangsa diharapkan mampu mengikuti pelajaran pendidikan kewarganegaraan di sekolah dengan baik karena melalui mata pelajaran tersebut dapat terbentuk moral bangsa yang sesuai dengan Pancasila sehingga ketika dihadapkan dengan dunia demokrasi di Indonesia, dapat melaksanakan kegiatan politik dengan menjunjung Pancasila sebagai etika politik.


DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo, Miriam. 1998.Dasar-Dasar Politik.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
----------------------.1998. Demokrasi di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Gino. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan 2. Jakarta: Yudhistira.
Kaelan. 2004.Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Penerbit “PARADIGMA”.
Mohammad Mujab, 2013, “Haram Hukum Money Politic Karena Melanggar UU Negara”, dalam http://samansamin.wordpress.com/2013/05/24/haram-hukum-money-politik-karena-melanggar-uu-negara/ diakses pada tanggal 7 Maret 2014, 10.53.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Post a Comment

Item Reviewed: Etika Politik Pancasila Antara Ada dan Tiada Rating: 5 Reviewed By: Harian Blora