Oleh Al Mahfud
Entah
apa kejadian yang menimpaku sebelumnya,
sehingga sekarang sudah berhadapan dengan seorang lelaki yang duduk termangu
pada sebuah kursi kayu panjang di sudut tempat lapang yang terlihat seperti
kota tua yang terasa gersang.
Tak
lama berselang tiba-tiba ia, lelaki itu bangkit dari duduknya dan
menghampiriku. Ia mengenalkan dirinya kepadaku dengan wajahnya yang terlihat
sayu. Seakan-akan, ia baru terbangun dari tidur selama
ratusan tahun yang lalu.
“Namaku
Anton,” ucapnya lirih sambil mengulurkan tangannya. Pertama kali mendengar
suaranya aku tertegun. Mulutnya hampir tak bergerak saat mengucapkannya. Suara itu seakan tak keluar dari
mulutnya, tapi sudah ada dalam pikiranku dan menggema dalam benakku.
“Oh,
ya.. a.. aku Guntur,” jawabku sambil meraih uluran tangannya. Kita
bersamalaman. Aku rasakan tangannya begitu dingin. Tanganku sendiri gemetar.
Setelah tangan kami –aku dan lelaki itu- lepas, ia kembali duduk di kursi kayu
panjang itu. Beberapa detik setelah lelaki yang mengaku bernama Anton itu
duduk, tanpa sadar aku sudah berada di sampingnya.
Kini
kami –aku dan Anton, duduk bersama di kursi panjang di sudut tempat lapang yang
terlihat seperti kota tua yang gersang. Di hadapan kami tampak lahan terbuka
yang abu-abu dan buram.
“Maukah
kau mendengarkan ceritaku? Guntur?” lelaki itu mulai berbicara lagi. Suaranya
masih seperti yang pertama tadi. Seperti bukan keluar dari mulutnya, namun
sudah ada dalam benakku dan menggema begitu saja.
Dan
entah jawaban apa yang kuucapkan sebelum akhirnya lelaki itu pun bercerita.
Seperti ini kira-kira cerita lelaki itu -dan beberapa pertanyaanku di sela-sela
ceritanya yang kupikir tak begitu ia hiraukan, yang bisa kugambarkan dari gema
suara lelaki yang seakan bersemayam dalam pikiranku….
Ia
berjalan pelan menghampiriku. Sebentar menatapku sayu. Lalu pergi ditelan
waktu…
Lelaki
itu menatap jauh ke depan. Seperti melihat sesuatu yang hanya ia sendiri yang
bisa melihatnya. Aku tertegun menatapnya.
Aku
masih duduk di bangku lusuh ini ketika kawanan burung-burung merpati
bergerombol dan bergerutu di tanah berdebu di hadapanku. Nampak satu di antara
kawanan merpati itu memandang ke arahku. Yang lain masih sibuk mematuk
sisa-sisa biji kacang yang tadi tumpah oleh entah. Merpati itu memandangku
ragu. Menggeleng, bergerutu, lalu berpaling meninggalkan pandangan dariku.
Waktu
berselang. Merpati-merpati itu sudah tak sesibuk tadi. Tinggal beberapa biji
kacang yang tersisa berceceran, sebelum akhirnya dihabiskan yang lain. Sebentar
aku tertunduk. Melihat rumput yang berwarna abu-abu. Berfikir, sedikit melamun,
dan mencoba percaya dengan semua yang kulihat. Saat aku alihkan pandangan ke
kawanan merpati itu lagi, tiba-tiba mereka beterbangan mengepakkan sayap ke
segala arah. Hatiku goyah. Sayap-sayap itu mengepak sepi, tanpa angin, dan
berlalu.
Kini
sepi. Tanpa kawanan merpati. Hanya aku dan segala ingatanku. Di sini aku
memulai menapaki hidup. Dengan semangat sinar mentari yang menusuk segala sudut
bangunan-bangunan. Dengan alunan suara sumbang dari jalanan sebagai hiburan. Di
kala hati sedang mekar diantara lalu lalang kendaraan di jalan.
Pagi
itu aku tak pernah tahu akan bertemu denganmu. Di seberang jalan kau terlihat berdiri,
seperti menunggu jemputan. Jemputan dari seseorang, atau mungkin dari angkutan.
Aku tak tahu. Beberapa saat berlalu dan aku masih juga memperhatikanmu. Kau masih
saja di situ. Entah apa yang kufikirkan saat itu. Aku langkahkan kaki menuju ke
arahmu berdiri. Mungkin angin yang membawaku. Mungkin juga hatiku. Aku tak tau…
“Lalu
kalian menjalin hubungan?”
Hingga
suatu ketika kau sudah di sampingku. Menggelayut manja di bahuku. Kau tahu, aku
juga tahu. Seperti sepasang merpati, kita bercanda di ujung senja yang merah.
Tertawa, tersenyum, terpana. Seperti tak akan ada luka. Hingga hari berganti
malam. Saat bulan berwarna terang menguasai malam. Saat suara bising tak lagi
terdengar. Hanya kita dan bayang-bayang kita yang setia mengikuti langkah kita
menghindari lampu taman kota yang merona.
Di
ujung sunyi kau tiba-tiba menyapa. Mengambil perhatianku. Kau tunjuk satu
bintang di atas sana. Bintang yang berkerlip sendiri di antara bintang-bintang
lainnya. “Sirius” kau menyebutnya. Matamu berpijar melihatnya. Entah apa yang
kupikirkan. Mulutku tiba-tiba berkata tanpa aba-aba. “Kau seperti bintang itu
Julia, selalu menyinari hidupku.”Kau tersenyum malu.
Suatu
malam yang lainnya. Masih di kota ini. Masih di sekitar lampu taman yang
merona. Tapi kali ini kau tidak bersamaku, Julia. Aku sendiri. Kau, aku tak
tahu. Aku, kau tak tahu. Cahaya bulan tampak redup diselimuti mendung tipis
memudar. Aku duduk di sini, di tempat ini.
Udara
malam semakin dingin. Aku menggigil. Sepertinya akan segera hujan. Kilat petir
menyambar-nyambar di angkasa. Tapi entah mengapa aku tidak begitu peduli. Entah
apa yang aku rasakan. Aku menantang keadaan. Dan benar saja. Atau mungkin
salah. Aku melihatmu, Julia. Kau bergelayut manja. Tapi tidak denganku. Di bahu
yang lain.
Hujan
pun turun. Kau masih dengannya, berlari kecil bersamanya, mencari tempat
berteduh dengan berpayung jaketnya. Kau tampak begitu bahagia. Sedang apa aku?
Hujan membasahi seluruh tubuhku. Aku baru menyadarinya. Aku juga baru
menyadarimu. Jangan tanya bagaimana hatiku saat itu.…
“Lalu
apa yang terjadi?”
Kini
semua sudah berlalu. Semua hanya menjadi cerita. Di mana kau sekarang. Di mana
aku sekarang. Dulu kita di sini. Memulai bermimpi. Sekarang aku di sini.
Sendiri. Hanya bayang-bayang dalam ingatan yang ada. Semua diam. Hanya sepi.
Burung-burung merpati sudah pergi.
Pandanganku
lelah menangkap hari. Udara yang kuhirup tak bisa untuk memberi hidup. Rerumputan
tebal di pinggir jalan hanya terbayang dalam ingatan. Semua buram. Mata ini
hanya menangkap kebisuan jejak-jejak kaki masa lalu.
Di
dalam kabut yang tak berasal, aku bergumam. Berbisik. Entah pada siapa. Tapi
tak ada suara yang terdengar. Bahkan aku sendiri tak mendengar suaraku. Mungkin
suara itu telah mengering dan hilang bersama angin yang berdesir hampa. Aku
coba tersenyum. Mencoba melihat semuanya dengan biasa. Mataku berusaha memberi
warna pada dedaunan. Hidungku berusaha merasakan udara yang sejuk. Suaraku akan
kembali mengalun merdu. Tapi tak bisa. Tetap tak bisa. Semua sudah tiada.
Batinku
meronta. Mencoba keluar dari sini. Tempat ini sungguh tidak bisa untuk sekadar
bernafas. Aku langkahkan kakiku pergi. Tapi berat kurasa. Seperti daun-daun
yang tak berwana itu. Seperti udara yang seakan hilang ini. Seperti suara yang
telah mengering ini. Tubuhku juga sama. Barangkali telah mati. Seakan telah
menjadi satu dengan tempat ini. Aku hanya bisa diam. Tetap duduk disini…
“Apa
Maksudmu? Bagaimana dengan malam hujan itu?”
Hujan
masih setia menemani langkah beratku malam itu. Dengan tetap melangkah aku
mencoba menerima kejadian yang baru kusaksikan. Pikiranku sudah tidak
memikirkan aku. Mungkin memikirkanmu, Julia. Tapi untuk apa? Pikiranmu bagaimana?
Aku
tetap berjalan tak tentu arah di malam hujan yang kini tak lagi berbulan. Apalagi
bintang. Hanya aku dan hujan. Aku dan terus berjalan. Entah kemana. Pikiranku
semakin meradang. Kekecewaan yang mendalam telah bercampur jadi satu dengan langit
yang menghujan. Mungkin langit bermaksud memadamkan api dalam hatiku, agar aku
bisa meredam tangisku. Tapi semakin deras hujan, semakin aku tak merasa tenang.
Sekejap
sempat kulihat kilauan lampu mobil dari arah samping. Sebelum suatu kekuatan
besar menghantamku tanpa ampun. Aku terpental membelah udara yang basah.
Darahku mengalir bercampur kubangan air hujan di jalan. Tak ada seorang pun
yang datang. Sempat terbayang wajahmu yang merona. Saat kau tunjuk satu bintang
yang paling terang. Lalu bayanganmu memudar. Tersapu hujan. Dan aku pun hilang.
Di telan derasnya hujan…
“Maksudmu..
kau?” aku gemetar.
Aku
hanya bisa duduk disini. Sendiri. Bersama dunia yang sudah mati. Hari-hari akan
terus begini. Hanya ada kenangan dan ingatan. Kenangan yang terus terbawa dalam
ingatan. Dan ingatan yang percuma dalam kenangan. Tak ada yang bisa ku lakukan.
Aku seperti patung yang berdiri di antara bangunan tua yang lusuh di kota sepi
tak berpenghuni. Bahkan untuk sekadar menyibak jaring laba-laba yang mulai
membangun sarang di tubuhku, aku tak bisa. Aku tak kuasa. Aku tak bisa
bergerak. Tubuhku sudah tak bertenaga, tak berwarna. Mungkin mataku yang tak
mengenal warna. Entahlah.
Aku
hanya bisa menunggu. Menunggu saat-saat di mana matahari kembali bersinar.
Membawa kehidupan yang baru bagi kota ini. Saat itu aku akan pergi. Melepaskan
diri dari sini. Membuang hati yang telah lama mati. Membawa sisa-sisa mimpi
yang tak sempat terjadi.
Lalu
aku akan terbang bersama sinar mentari sampai ujung cakrawala seorang diri.
Melihat seisi dunia dari sana. Aku bisa melihatmu dari sana, Julia. Melihatmu
yang masih tertawa. Melihatmu yang semakin menua. Melihatmu yang hilang bersama
angan-anganmu. Lalu aku akan bahagia di sana……
Aku
merasa ada sesuatu yang mendesak dalam dadaku. Beberapa detik kemudian mataku
berkaca-kaca.
Kawanan
merpati itu datang lagi. Kembali bergerombol di tanah gersang dan sunyi.
Seperti tak ada lagi yang akan terjadi. Dedaunan masih tak berwarna. Udara
masih tak bisa kurasa. Suaraku masih mengering, hampa. Aku masih duduk di sini.
Dengan hati yang mati. Dam ia berjalan pelan menghampiriku. Sebentar menatapku
sayu. Lalu pergi ditelan waktu….
Aku
mengusap mataku yang makin terasa membasah. Dan entah apa yang terjadi denganku
sebelum aku tersadar sedang duduk seorang diri di kursi kayu panjang di sudut
tempat lapang yang terlihat seperti kota tua yang terasa gersang.
Sesaat
kemudian terdengar ponselku berdering dari dalam saku celanaku. Aku merogohnya
dan melihat siapa yang menelfonku. Seketika aku tersentak, baru tersadar akan
sebuah nama. Julia!
-Penulis adalah warga Pati, menulis fiksi dan artikel yang di berbagai
media.
0 comments:
Post a Comment