Harianblora.com Mengucapkan Selamat Menjalankan Puasa Ramadan&Mengajak Warga Jaga Kesehatan&Memutus Penyebaran Corona

Latest News

Kabar bahagia! bagi Anda, mahasiswa, guru, dosen dan siapapun yang ingin menerbitkan buku mudah dan murah, silakan kirim naskah ke formacipress@gmail.com dan kunjungi www.formacipress.com

Saturday 14 February 2015

Cerpen Lelaki Kota Mati



Oleh Al Mahfud
Lelaki Kota Mati. Foto: idkaca.
Entah apa kejadian yang menimpaku sebelumnya, sehingga sekarang sudah berhadapan dengan seorang lelaki yang duduk termangu pada sebuah kursi kayu panjang di sudut tempat lapang yang terlihat seperti kota tua yang terasa gersang.

Tak lama berselang tiba-tiba ia, lelaki itu bangkit dari duduknya dan menghampiriku. Ia mengenalkan dirinya kepadaku dengan wajahnya yang terlihat sayu. Seakan-akan, ia baru terbangun dari tidur selama ratusan tahun yang lalu.

“Namaku Anton,” ucapnya lirih sambil mengulurkan tangannya. Pertama kali mendengar suaranya aku tertegun. Mulutnya hampir tak bergerak saat mengucapkannya. Suara itu seakan tak keluar dari mulutnya, tapi sudah ada dalam pikiranku dan menggema dalam benakku. 

“Oh, ya.. a.. aku Guntur,” jawabku sambil meraih uluran tangannya. Kita bersamalaman. Aku rasakan tangannya begitu dingin. Tanganku sendiri gemetar. Setelah tangan kami –aku dan lelaki itu- lepas, ia kembali duduk di kursi kayu panjang itu. Beberapa detik setelah lelaki yang mengaku bernama Anton itu duduk, tanpa sadar aku sudah berada di sampingnya.

Kini kami –aku dan Anton, duduk bersama di kursi panjang di sudut tempat lapang yang terlihat seperti kota tua yang gersang. Di hadapan kami tampak lahan terbuka yang abu-abu dan buram.

“Maukah kau mendengarkan ceritaku? Guntur?” lelaki itu mulai berbicara lagi. Suaranya masih seperti yang pertama tadi. Seperti bukan keluar dari mulutnya, namun sudah ada dalam benakku dan menggema begitu saja.

Dan entah jawaban apa yang kuucapkan sebelum akhirnya lelaki itu pun bercerita. Seperti ini kira-kira cerita lelaki itu -dan beberapa pertanyaanku di sela-sela ceritanya yang kupikir tak begitu ia hiraukan, yang bisa kugambarkan dari gema suara lelaki yang seakan bersemayam dalam pikiranku….

Ia berjalan pelan menghampiriku. Sebentar menatapku sayu. Lalu pergi ditelan waktu…
Lelaki itu menatap jauh ke depan. Seperti melihat sesuatu yang hanya ia sendiri yang bisa melihatnya. Aku tertegun menatapnya.

Aku masih duduk di bangku lusuh ini ketika kawanan burung-burung merpati bergerombol dan bergerutu di tanah berdebu di hadapanku. Nampak satu di antara kawanan merpati itu memandang ke arahku. Yang lain masih sibuk mematuk sisa-sisa biji kacang yang tadi tumpah oleh entah. Merpati itu memandangku ragu. Menggeleng, bergerutu, lalu berpaling meninggalkan pandangan dariku.

Waktu berselang. Merpati-merpati itu sudah tak sesibuk tadi. Tinggal beberapa biji kacang yang tersisa berceceran, sebelum akhirnya dihabiskan yang lain. Sebentar aku tertunduk. Melihat rumput yang berwarna abu-abu. Berfikir, sedikit melamun, dan mencoba percaya dengan semua yang kulihat. Saat aku alihkan pandangan ke kawanan merpati itu lagi, tiba-tiba mereka beterbangan mengepakkan sayap ke segala arah. Hatiku goyah. Sayap-sayap itu mengepak sepi, tanpa angin, dan berlalu.

Kini sepi. Tanpa kawanan merpati. Hanya aku dan segala ingatanku. Di sini aku memulai menapaki hidup. Dengan semangat sinar mentari yang menusuk segala sudut bangunan-bangunan. Dengan alunan suara sumbang dari jalanan sebagai hiburan. Di kala hati sedang mekar diantara lalu lalang kendaraan di jalan.

Pagi itu aku tak pernah tahu akan bertemu denganmu. Di seberang jalan kau terlihat berdiri, seperti menunggu jemputan. Jemputan dari seseorang, atau mungkin dari angkutan. Aku tak tahu. Beberapa saat berlalu dan aku masih juga memperhatikanmu. Kau masih saja di situ. Entah apa yang kufikirkan saat itu. Aku langkahkan kaki menuju ke arahmu berdiri. Mungkin angin yang membawaku. Mungkin juga hatiku. Aku tak tau…

“Lalu kalian menjalin hubungan?”

Hingga suatu ketika kau sudah di sampingku. Menggelayut manja di bahuku. Kau tahu, aku juga tahu. Seperti sepasang merpati, kita bercanda di ujung senja yang merah. Tertawa, tersenyum, terpana. Seperti tak akan ada luka. Hingga hari berganti malam. Saat bulan berwarna terang menguasai malam. Saat suara bising tak lagi terdengar. Hanya kita dan bayang-bayang kita yang setia mengikuti langkah kita menghindari lampu taman kota yang merona.

Di ujung sunyi kau tiba-tiba menyapa. Mengambil perhatianku. Kau tunjuk satu bintang di atas sana. Bintang yang berkerlip sendiri di antara bintang-bintang lainnya. “Sirius” kau menyebutnya. Matamu berpijar melihatnya. Entah apa yang kupikirkan. Mulutku tiba-tiba berkata tanpa aba-aba. “Kau seperti bintang itu Julia, selalu menyinari hidupku.”Kau tersenyum malu.

Suatu malam yang lainnya. Masih di kota ini. Masih di sekitar lampu taman yang merona. Tapi kali ini kau tidak bersamaku, Julia. Aku sendiri. Kau, aku tak tahu. Aku, kau tak tahu. Cahaya bulan tampak redup diselimuti mendung tipis memudar. Aku duduk di sini, di tempat ini.
 
Udara malam semakin dingin. Aku menggigil. Sepertinya akan segera hujan. Kilat petir menyambar-nyambar di angkasa. Tapi entah mengapa aku tidak begitu peduli. Entah apa yang aku rasakan. Aku menantang keadaan. Dan benar saja. Atau mungkin salah. Aku melihatmu, Julia. Kau bergelayut manja. Tapi tidak denganku. Di bahu yang lain.

Hujan pun turun. Kau masih dengannya, berlari kecil bersamanya, mencari tempat berteduh dengan berpayung jaketnya. Kau tampak begitu bahagia. Sedang apa aku? Hujan membasahi seluruh tubuhku. Aku baru menyadarinya. Aku juga baru menyadarimu. Jangan tanya bagaimana hatiku saat itu.…

“Lalu apa yang terjadi?”

Kini semua sudah berlalu. Semua hanya menjadi cerita. Di mana kau sekarang. Di mana aku sekarang. Dulu kita di sini. Memulai bermimpi. Sekarang aku di sini. Sendiri. Hanya bayang-bayang dalam ingatan yang ada. Semua diam. Hanya sepi. Burung-burung merpati sudah pergi.

Pandanganku lelah menangkap hari. Udara yang kuhirup tak bisa untuk memberi hidup. Rerumputan tebal di pinggir jalan hanya terbayang dalam ingatan. Semua buram. Mata ini hanya menangkap kebisuan jejak-jejak kaki masa lalu.

Di dalam kabut yang tak berasal, aku bergumam. Berbisik. Entah pada siapa. Tapi tak ada suara yang terdengar. Bahkan aku sendiri tak mendengar suaraku. Mungkin suara itu telah mengering dan hilang bersama angin yang berdesir hampa. Aku coba tersenyum. Mencoba melihat semuanya dengan biasa. Mataku berusaha memberi warna pada dedaunan. Hidungku berusaha merasakan udara yang sejuk. Suaraku akan kembali mengalun merdu. Tapi tak bisa. Tetap tak bisa. Semua sudah tiada.

Batinku meronta. Mencoba keluar dari sini. Tempat ini sungguh tidak bisa untuk sekadar bernafas. Aku langkahkan kakiku pergi. Tapi berat kurasa. Seperti daun-daun yang tak berwana itu. Seperti udara yang seakan hilang ini. Seperti suara yang telah mengering ini. Tubuhku juga sama. Barangkali telah mati. Seakan telah menjadi satu dengan tempat ini. Aku hanya bisa diam. Tetap duduk disini…

“Apa Maksudmu? Bagaimana dengan malam hujan itu?”

Hujan masih setia menemani langkah beratku malam itu. Dengan tetap melangkah aku mencoba menerima kejadian yang baru kusaksikan. Pikiranku sudah tidak memikirkan aku. Mungkin memikirkanmu, Julia. Tapi untuk apa? Pikiranmu bagaimana?

Aku tetap berjalan tak tentu arah di malam hujan yang kini tak lagi berbulan. Apalagi bintang. Hanya aku dan hujan. Aku dan terus berjalan. Entah kemana. Pikiranku semakin meradang. Kekecewaan yang mendalam telah bercampur jadi satu dengan langit yang menghujan. Mungkin langit bermaksud memadamkan api dalam hatiku, agar aku bisa meredam tangisku. Tapi semakin deras hujan, semakin aku tak merasa tenang.

Sekejap sempat kulihat kilauan lampu mobil dari arah samping. Sebelum suatu kekuatan besar menghantamku tanpa ampun. Aku terpental membelah udara yang basah. Darahku mengalir bercampur kubangan air hujan di jalan. Tak ada seorang pun yang datang. Sempat terbayang wajahmu yang merona. Saat kau tunjuk satu bintang yang paling terang. Lalu bayanganmu memudar. Tersapu hujan. Dan aku pun hilang. Di telan derasnya hujan…

“Maksudmu.. kau?” aku gemetar.

Aku hanya bisa duduk disini. Sendiri. Bersama dunia yang sudah mati. Hari-hari akan terus begini. Hanya ada kenangan dan ingatan. Kenangan yang terus terbawa dalam ingatan. Dan ingatan yang percuma dalam kenangan. Tak ada yang bisa ku lakukan. Aku seperti patung yang berdiri di antara bangunan tua yang lusuh di kota sepi tak berpenghuni. Bahkan untuk sekadar menyibak jaring laba-laba yang mulai membangun sarang di tubuhku, aku tak bisa. Aku tak kuasa. Aku tak bisa bergerak. Tubuhku sudah tak bertenaga, tak berwarna. Mungkin mataku yang tak mengenal warna. Entahlah.

Aku hanya bisa menunggu. Menunggu saat-saat di mana matahari kembali bersinar. Membawa kehidupan yang baru bagi kota ini. Saat itu aku akan pergi. Melepaskan diri dari sini. Membuang hati yang telah lama mati. Membawa sisa-sisa mimpi yang tak sempat terjadi.

Lalu aku akan terbang bersama sinar mentari sampai ujung cakrawala seorang diri. Melihat seisi dunia dari sana. Aku bisa melihatmu dari sana, Julia. Melihatmu yang masih tertawa. Melihatmu yang semakin menua. Melihatmu yang hilang bersama angan-anganmu. Lalu aku akan bahagia di sana……

Aku merasa ada sesuatu yang mendesak dalam dadaku. Beberapa detik kemudian mataku berkaca-kaca.

Kawanan merpati itu datang lagi. Kembali bergerombol di tanah gersang dan sunyi. Seperti tak ada lagi yang akan terjadi. Dedaunan masih tak berwarna. Udara masih tak bisa kurasa. Suaraku masih mengering, hampa. Aku masih duduk di sini. Dengan hati yang mati. Dam ia berjalan pelan menghampiriku. Sebentar menatapku sayu. Lalu pergi ditelan waktu….

Aku mengusap mataku yang makin terasa membasah. Dan entah apa yang terjadi denganku sebelum aku tersadar sedang duduk seorang diri di kursi kayu panjang di sudut tempat lapang yang terlihat seperti kota tua yang terasa gersang.

Sesaat kemudian terdengar ponselku berdering dari dalam saku celanaku. Aku merogohnya dan melihat siapa yang menelfonku. Seketika aku tersentak, baru tersadar akan sebuah nama. Julia!

-Penulis adalah warga Pati, menulis fiksi dan artikel yang di berbagai media.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Post a Comment

Item Reviewed: Cerpen Lelaki Kota Mati Rating: 5 Reviewed By: Harian Blora