Semarang,
Harianblora.com – Guru revolusioner adalah guru profesional. Demikian
inti dari diskusi dan bedah buku berjudul Siapkah Saya Menjadi Guru SD
Revolusioner? Yang ditulis oleh
Hamidulloh Ibda dan Dian Marta Wijayanti. Diskusi dan bedah buku ini digelar di
kantor Smarta School Semarang, Sabtu (14/2/2015) sore. Diskusi ini adalah
kerjasama atas inisiatif Smarta School dan dibantu Forum Muda Cendekia
(Formaci) Jateng dan juga Lingkar Studi Mahasiswa (Lisuma) Cabang Blora.
Hadir pula
beberapa pengurus Forum Muda Cendekia (Formaci) Jawa Tengah, Lingkar Studi
Mahasiswa (Lisuma) Cabang Blora dan beberapa kader Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) Cabang Semarang. Kalau revolusioner, kata Ibda, sudah pasti dia di atas
profesional. “Sebab, revolusioner itu lebih tinggi derajatnya daripada sekadar
profesional,” beber Direktur Utama Formaci Jateng tersebut.
Guru
revolusioner, katanya, adalah terminologi baru yang ia tulis dalam buku
terbitan Kalam Nusantara tersebut. “Kalau secara umum, guru revolusioner itu ya
Tan Malaka itu, namun dalam dunia pendidikan guru ini sangat sulit dan bagi
kami hanya mimpi. Sebab, untuk menjadi guru profesional saja sulitnya setengah
mati, apalagi derajat revolusioner,” terang dia. (Baca juga: Buku Siapkah Saya Menjadi Guru SD Revolusioner dibedah).
Yang
paling tinggi, lanjut dia, ya guru revolusioner. “Ia melakukan perubahan
mendasar dan menyeluruh. Ia komplit. Tidak sekadar mendapat sertifikat pendidik
profesional dan lulus PLPG maupun PPG maupun PPGJ,” beber penulis buku
Demokrasi Setengah Hati tersebut.
Dalam
pemaparannya, Ibda mengatakan bahwa idiom guru di Indonesia yang paling waw dan
tinggi adalah guru profesional. Namun hal itu dinilai hanya lebih pada teknis,
birokratis dan sesuai UUGD tahun 2005, belum secara radikal dan mendasar
tentang paradigma didik maupun paradigma ajar.
Jika guru
tidak paham detail konsep dan blueprint pembelajaran menyenangkan bagi
murid, katanya, maka kondisi kelas pasti kacau. “Ya, kacau. Jika sudah kacau,
tugas pertama adalah mengondisikan siswa tenang. Jika belum tenang, mustahil
pembelajaran bisa dimulai,” ujar pemerhati pendidikan Pascasarjana Unnes itu.
Artinya,
kata dia, minimal guru SD harus memiliki kekuatan mengondisikan murid, terutama
kelas rendah, 1, 2 dan 3. “Di jenjang tersebut, murid SD susah dikondisikan
jika gurunya gersang dan tidak memiliki dialektika pembelajaran yang baik dan
benar,” beber warga Tunjungan, Blora, tersebut.
Senada
dengan hal itu, Dian Marta Wijayanti, selaku pemateri juga mengatakan dalam
pembelajaran SD, tingkat pemahaman murid sangat beragam. “Guru SD harus pandai
menangkap gaya belajar murid SD. Tingkat pemahaman murid, menurut model
Gagne dapat dikelompokkan menjadi
delapan tipe belajar meliputi belajar isyarat, stimulus-respon, rangkaian gerak,
rangkaian verbal, membedakan, pembentukan konsep, pembentukan aturan, pemecahan
masalah atau problem solving,” ujar lulusan terbaik PGSD Unnes itu.
Dilihat
dari urutan belajar, kata dia, pemecahan masalah adalah tipe belajar paling
tinggi karena lebih kompleks. Namun pakar pendidikan berpendapat bahwa guru
bisa melakukan model, tipe, strategi apa saja dalam pembelajaran agar murid-murid
memahami materi pelajaran. “Belajar merupakan proses sosial, kelas
merupakan minatur masyarakat, terutama di SD harus berbasis belajar bersama
teman se kelas untuk memecahkan masalah bersama. Maka dari itu, pembelajaran
harus menyenangkan, kondusif dan guru SD harus menguasai banyak model,
strategi, pendekatan pembelajaran yang menyenangkan bagi murid,” beber guru SDN
Sampangan 1 Kota Semarang tersebut.
Alumnus
SMA Negeri 1 Blor itu juga mengatakan pembelajaran menyenangkan di SD
mengandung makna pembelajaran yang dirancang bisa mengaktifkan sekaligus mengembangkan
inovasi dan kreativitas, sehingga efektif dan menyenangkan. “Guru SD sangat
diharapkan mencipta lingkungan belajar kondusif, bermakna, mampu memberikan
murid SD keterampilan pengetahuan dan sikap untuk hidup lebih baik, sangat
baik, dan maju,” tutur Asesor EGRA USAID Prioritas Jateng itu.
Pembelajaran Menyenangkan
Pembelajaran menyenangkan menurut Dian, adalah memiliki ciri menggunakan multimetode,
multimedia, melibatkan semua indera, dengan praktik dan bekerja tim,
memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar. “Pembelajaran tersebut
juga melibatkan multiaspek yaitu logika, kinestika, estetika dan etika,” jelas
PNS tersebut.
Dengan
kata lain, ujar dia, pembelajaran perlu mengaktifkan murid dan guru, membuat
kreatif pembelajarannya, hasilnya efektif dan tentu saja hal itu semua
berlangsung dengan menyenangkan.
Diskusi
ini juga dalam rangka memanfaatkan waktu Valentine untuk kegiatan positif.
Sebab, para aktivis dan akademisi tersebut diskusi dan bedah buku lebih
bermakna daripada sekadar memperingati Valentine yang gersang dan bias
maknanya.
Menurut
Dia, ada beberapa komponen-komponen utama pembelajaran menyenangkan yang bisa
dilakukan guru SD, yaitu kurikulum dan perangkatnya, sarana dan prasarana yang
diperlukan, SDM, yaitu guru dan tenaga kependidikan lainnya, manajemen yang
tertib, teratur, transparan dan akuntabel dan juga didukung penilaian
berkelanjutan.
Semua itu,
lanjut dia, perlu diarahkan pada standardisasi mutu pendidikan secara
berkelanjutan dalam menghadapi tuntutan lokal, nasional dan global juga perlu
dukungan berbagai pihak. “Namun yang paling penting adalah pembelajaran di
kelas yang harus didesain guru dengan baik, hal itu hanya bisa dilakukan guru revolusioner,” beber mantan mahasiswa
berpestasi Unnes tersebut. (Red-HB12/Hasyim/www.harianblora.com. Foto: Formaci Press).
0 comments:
Post a Comment