Semarang, Harianblora.com - Jual beli izajah S1 di Blora,
Grobogan dan Semarang kini terbongkar. Sebab,
modus yang dilakukan pria yang berinisial JMR, warga Kecamatan Gabus, Kabupaten
Grobogan kini tercium oleh publik. JMR, adalah salah seorang calo ijazah yang
sehari-hari menjadi dosen di salah satu kampus swasta cabang Kabupaten Blora.
Ia kini diduga menjadi calo jual-beli ijazah S1 atau strata 1 tersebut
Dari informasi yang digali Harianblora.com, Sabtu
(14/2/2015), dalam aksinya, JMR menjual ijazah abal-abal tersebut melalui
perkuliahan di kampus cabang di beberapa daerah di Jawa Tengah. Modusnya, ia menjual ijazah S1 tanpa kuliah alias
pembeli bisa mendapat gelar sarjana tanpa mengikuti perkualiahan.
Dari lansiran Jawa Pos Radar
Semarang, Sabtu (14/2/2015), JMR diduga merupakan salah satu mafia pendidikan
yang melakukan praktik jual beli ijazah aspal di beberapa kota besar, seperti Jakarta
dan juga Bandung. Tak hanya itu, dalam aksinya, ia juga mengincar
kabupaten/kota di Jawa Tengah, seperti Semarang, Grobogan dan juga Blora.
1 Ijazah Rp 7
Juta Hingga RP 12,5 Juta
Dalam aksinya, pelaku tersebut mematok harga 1 ijazah Rp 7 juta hingga Rp 12,5 juta. Kabupaten
Blora dan Grobogan menjadi sasaran empuk penjualan ijazah S1 keguruan dengan
gelar yang mudah didapat. Sebab, pembeli hanya membutuhkan waktu sekitar 1
sampai 2 bulan, tanpa ikut kuliah, membuat makalah, KKN, skripsi, namun pembeli
asal merogoh kocek sesuai kesepakatan bisa wisuda di antara ribuan wisadawan
program reguler.
Lebih memprihatinkan lagi,
para pembeli adalah kebanyakan para guru, baik yang sudah PNS maupun yang masih
swasta yang belum mendapat gelar S1 dan ijazah S1.
Menurut SAN yang sehari-hari berprofesi sebagai guru itu, mengatakan uang Rp 12,5 juta itu sudah terima bersih. Semua hal sudah diurusi pria yang mengaku dosen tersebut. ”Yang ikut berjumlah puluhan, cabang kuliahnya bertempat di Blora,” bebernya.
SAN juga merasa resah terhadap kondisi tersebut. Pasalnya, kondisi itu sangat mencoreng dunia pendidikan, apalagi yang beli adalah para guru. ”Apa jadinya generasi hasil anak didiknya jika gurunya saja membeli gelar sarjana palsu?” tukasnya.
Tak hanya SAN, sumber lain dari Purwodadi juga mengakui bahwa ia pernah ikut, yaitu AM (52). Dirinya mengatakan pernah ikut wisuda S1 di kampus yang terletak di daerah Jalan Rawa, Jakarta Timur. ”Kalau saya masuk kuliahnya Sabtu-Minggu di SMK Al Balad Jati Blora, hanya sebentar. Itu cabang dari Jakarta. Bilangnya sih Akreditasi B. Makanya saya mau,” jelasnya.
AM menjelaskan bahwa biaya kuliah sampai selesai hanya Rp 7 juta saja. Semuanya sudah diurusi pihak kampus. ”Termasuk skripsi juga gratis, karena sudah dibuatkan oleh dosennya. Istilahnya emang membantu guru yang belum memiliki ijazah S1 dan prosesnya dipermudah,” kata dia.
Akan tetapi, AM dalam waktu belakangan ini kecewa berat. Sebab, setelah ia sempat konsultasi di Badan Kepegawaian Daerah (BKD) setempat, ijazah S1 yang dimilikinya itu tidak bisa digunakan untuk memenuhi syarat kelengkapan jenjang karir kepegawaian. Jadi hal itu membuat dirinya resah.
”Alasannya, karena alamat kampus tersebut berada di Jakarta. Sedangkan saya mengajarnya di Purwodadi. Jarak tempuh Purwodadi-Jakarta dinilai tidak logis. Ijazah dan gelar S1 itu dikatakan orang BKD bisa dipakai secara pribadi di masyarakat. Sedangkan untuk kepentingan kepegawaian di BKD tidak bisa menerima ijazah kampus tersebut,” papar guru tersebut. AM mengaku tidak tahu sebelumnya jika ijazah keluaran kampus tersebut tidak bisa digunakan.
Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jateng, Rasdi Ekosiswoyo secara terpisah mengatakan adanya fenomena jual beli ijazah S1 itu sudah masuk dalam ranah pidana.
Menurut Rasdi, yang memiliki kewenangan untuk menelisik dan mempermasalhkan lebih lanjut adalah pihak Kopertis (Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta) dan praktisi. Sedangkan untuk penindakan adalah tugas kepolisian. ”Harus dilaporkan ke pihak kepolisian. Itu lembaga pendidikan abal-abal. Masyarakat sudah dirugikan dan merusak nama baik dunia pendidikan,” bebernya.
Dikatakannya, fenomena serupa juga pernah terjadi sekitar 10-15 tahun lalu. Hanya tinggal membayar dengan sejumlah uang, tanpa proses kuliah langsung bisa dapat ijazah S1. ”Repotnya masyarakat kita banyak yang minat. Ingin memiliki ijazah sarjana dengan jalan pintas,” jelas dia.
Jika ada praktik lembaga pendidikan atau kampus di Semarang, lalu membuka cabang di setiap kabupaten/kota itu saja sudah aneh. ”Kampusnya di Semarang, buka di Purworejo atau Wonosobo misalnya. Indikasi ndak bener itu,” tegasnya. (Red-HB30/Amu/Aro/Ce1/Foto: Sinar Harapan).
0 comments:
Post a Comment