Harianblora.com Mengucapkan Selamat Menjalankan Puasa Ramadan&Mengajak Warga Jaga Kesehatan&Memutus Penyebaran Corona

Latest News

Kabar bahagia! bagi Anda, mahasiswa, guru, dosen dan siapapun yang ingin menerbitkan buku mudah dan murah, silakan kirim naskah ke formacipress@gmail.com dan kunjungi www.formacipress.com

Sunday 15 February 2015

Valentine bukan Hari Kasih Sayang



Oleh Muhammad Haizun Niam

Hari Valentine atau Valentine’s Day merupakan Hari Kasih Sayang seperti yang dikenal masyarakat umum. Bagi kaum remaja, hari yang jatuh pada 14 Februari ini merupakan momen spesial untuk meluapkan emosi cinta kepada sang kekasih. Biasanya, mereka akan mengirimkan pelbagai kejutan untuk sang kekasih, mulai dari kartu ucapan selamat, cokelat, kado, bahkan aksesori bergambar hati yang bercorak pink (merah muda). Semua tipikal kejutan tersebut merupakan simbol ungkapan kasih sayang untuk pasangan masing-masing.

Tapi sungguh “miris”, ternyata perayaan valentine tidaklah cukup dengan pemberian hadiah maupun ucapan selamat. Dewasa ini, perayaan Valentine selalu diwarnai dengan pelbagai tindakan amoral dari sebagian remaja. Di antara tindakan-tindakan tersebut adalah pesta miras, hura-hura dan yang paling parah adalah free sex (seks bebas). Di Indonesia, tindakan-tindakan tersebut selalu menjadi iming-iming menarik bagi kaum remaja. Padahal, di  Eropa tradisi yang seperti ini mulai memudar karena dapat memberikan ancaman serius bagi generasi muda. Salah satunya adalah ancaman virus HIV dan AIDS.

Di sinilah letak ketidaksesuaian antara makna dan ritual dalam Hari Valentine. Jika memang hari tersebut dianggap sebagai Hari Kasih Sayang, apakah harus selalu bersamaan dengan tindakan amoral? Bukankah kasih sayang itu identik dengan tindakan kebaikan dan saling berbagi? Sungguh logika yang sesat.

Free Sex Day
Sejarah mengatakan bahwa perayaan Hari Valentine bukanlah merupakan ajaran Kristen, melainkan hasil dari sinkretisme antara kebudayaan pagan dan tradisi Kristen. Upaya ini merupakan taktik Gelasius agar dapat membumikan agama kristen yang tergolong sebagai agama baru di Eropa. Sebab, masyarakat Eropa pada saat itu terlampau teguh memegang paganisme. Paganisme merupakan faham yang identik dengan kepercayaan terhadap banyak Tuhan (Polytheisme). Biasanya, ditandai oleh keberadaan para dewa.

Di zaman Romawi Kuno, kepercayaan yang seperti itu telah mendarah-daging di benak masyarakat. Bahkan, telah membentuk sebuah ritual penyembahan terhadap para dewa. Di antara ritual yang paling kental adalah peringatan terhadap dewa Lupercus—dewa kesuburan yang digambarkan setengah telanjang dengan pakaian dari kulit domba yang disebut dengan hari raya Lupercalia. Perayaan ini berlangsung dari tanggal 13 hingga 18 Februari.

Dua hari pertama, mereka akan mengadakan sesembahan untuk Queen of Feverish Love (Dewi Cinta), Juno Februata. Dalam proses penyembahan itu, mereka mengadakan Lotre pasangan. Para wanita muda akan diundi melalui yang di dalamnya terdapat nama-nama mereka. Kemudian, para pria akan mengambil satu nama dalam bejana tersebut untuk diajak berhubungan seks. Tradisi ini lalu menyebar dengan cepat ke hampir seluruh Eropa.

Penyebaran tradisi ini menyebabkan sulitnya penyebaran agama Kristen. Untuk menarik jemaat agar mau berpindah haluan ke Gereja, maka Paus Gelasius mengadopsi perayaan kafir pagan ini dengan memberi kemasan kekristenan. Kemudian Gelasius I pada tahun 469 M mengubah upacara Roma Kuno Lupercalia ini menjadi Saint Valentine’s Day, dan diresmikan sebagai Hari Valentine oleh Paus Gelasius pada 14 Februari di tahun 498.

Berdasarkan literatur tersebut, maka yang nampak dari peringatan Hari Valentine tidak lebih dari sekadar jembatan menuju free sex (sex bebas). Bahkan, ada yang memaknai Valentine sebagai free sex day, bukan lagi hari kasih sayang. Kini, tradisi tersebut telah menghinggapi para remaja Indonesia setidaknya sejak tahun 1980-an. Fenomena seks bebas inilah yang menyulut keresahan masyarakat setiap momen Valentine’s Day bergulir. Terlebih bagi mereka yang memiliki remaja gadis.

Ekstra Waspada
Rabu kemarin seluruh masyarakat Indonesia dikagetkan dengan praktik “sedekah kondom”. Praktik itu beredar di media sosial foto (gambar) yang memperlihatkan paket dua batang cokelat dengan bonus sebuah kotak kondom. Paket cokelat dan kondom gratis itu disinyalir berasal dari sebuah supermarket di Malang, Jawa Timur.

Peredaran coklat berhadiah kondom jelang peringatan Valentine Day tersebut seketika menyedot perhatian para pengguna internet. Banyak reaksi negatif yang mengiringi praktik “sedekah kondom” itu. Banyak masyarakat yang menilai bahwa tindakan tersebut telah melampaui batas norma.

Menurut Ketua Umum Gerakan Perempuan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Welya Safitri Welya Safitri, mengatakan bahwa Coklat berhadiah kondom itu di luar norma. Welya juga menanyakan kenapa harus ada tindakan memalukan seperti itu, dan untuk apa dibuat seperti itu? (ROL, 5/2/2015).

Tegasnya, Ia menilai bahwa, ada norma-norma yang dilanggar ketika remaja terjerumus dengan ritual buruk yang berbau Valentine. Mulai dari norma agama dan norma Indonesia yang menganut budaya ketimuran. Tentu saja tindakan tersebut sangatlah miris. Menyikapi kemirisan ini, Welya mengajak remaja Indonesia agar lebih memaksimalkan usia remaja untuk melakukan tindakan yang bermanfaat. Sebab, usia remaja merupakan usia emas yang tidak dapat terulang. Masa-masa itu sangat disayangkan apabila digunakan untuk tindakan yang menjerumus pada “jurang hitam”.

Boleh-boleh saja jika ingin merayakan Valentine, namun harus memiliki argumen yang kuat dan tidak bertolak belakang dengan nilai dan norma yang berlaku. Atau jika dengan melakukan perayaan itu dapat menciptakan suatu kebaikan maka tidak akan menjadi sebuah polemik. Tapi, jika hanya sekedar ikut-ikutan maka lebih baik jangan merayakannya. Sebab, hanya akan menimbulkan pelbagai mudarat.

Berdasarkan kacamata Islam, hal tersebut telah dijelaskan secara rinci dalam kitab Bughyatul Musytarsyidin. Pertama, Apabila seorang muslim yang mempergunakan perhiasan/aksesoris seperti yang digunakan kaum kafir dan terbersit di hatinya kekaguman pada agama mereka dan timbul rasa ingin meniru (gaya) mereka, maka muslim tersebut bisa dianggap kufur. Apalagi jika dengan sengaja menemani mereka ke tempat peribadatannya. 

Kedua, apabila dalam hati muslim itu ada keinginan untuk meniru model perayaan mereka, tanpa disertai kekaguman atas agama mereka, hal itu terbilang sebagai dosa. Ketiga, apabila muslim itu meniru gaya mereka tanpa ada maksud apa-apa maka hukumnya makruh.

Meskipun diperbolehkan untuk merayakan Valentine dengan pelbagai pertimbangan, namun seluruh komponen masyarakat harus tetap waspada. Sebab, ancaman seks bebas bisa melejit setiap saat. Dalam masalah ini, orangtua harus mampu mengawal remaja-remajanya agar tidak terseret dalam arus kegelapan.
Bagi pemerintah, harus segera meningkatkan setabilitas dalam negeri dan membuat peraturan yang mampu memangkas pergerakan seks bebas di Indonesia hingga ke akar-akarnya. Walhasil, hari kasih sayang akan benar-benar tampak. Wallahu a’lamu bi al-Showab.

- Penulis adalah Peneliti Muda di Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme (LeSAN), Ketua Ikatan Penulis Muda Bertalenta (PIMB) Walisongo Semarang, Mentri Hukum di Monash Institute Semarang.

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Post a Comment

Item Reviewed: Valentine bukan Hari Kasih Sayang Rating: 5 Reviewed By: Harian Blora