Harianblora.com Mengucapkan Selamat Menjalankan Puasa Ramadan&Mengajak Warga Jaga Kesehatan&Memutus Penyebaran Corona

Latest News

Kabar bahagia! bagi Anda, mahasiswa, guru, dosen dan siapapun yang ingin menerbitkan buku mudah dan murah, silakan kirim naskah ke formacipress@gmail.com dan kunjungi www.formacipress.com

Saturday 24 January 2015

Fitrah Politik dan Politisi Pembangun Negeri



Oleh Saiful Anwar
Membahas sedikit dari sejarah politik, ini merupakan pembahasan yang sangat esensial dari seluruh bidang ilmu. Pada dasarnya, politik benar-benar berperan menyeluruh dalam masyarakat. Sejarah mencatat bahwa politik merupakan ilmu yang paling tua, setua dengan munculnya konsep “negara” (baca: Republic). Munculnya politik dan Negara secara bersamaan, kedua istilah tersebut tidak dapat dipisahkan. Aristoteles mengatakan, negara dan politik itu ibarat satu keping mata uang, apabila tidak ada salah satu diantara kepingnya, maka sama saja tidak ada. 

Pada penjelasan tersebut telah dijelaskan dengan tegas. Suatu negara secara mutlak tidak bisa lepas dari aktivitas politik. Sebab, negara akan mengalami perubahan entah itu baik maupun buruk, semua itu tidak lain adalah ulah dari politik. Karenanya, perubahan dan perbaikan negara merupakan dari fitrah politik. Merupakan hal yang sangat mustahil apabila negara itu tanpa politik.

Jika menilik arti politik secara benar, maka kita akan mengetahui secara pasti apa itu politik. Bahwa politik, secara harfiah berasal dari bahasa Yunani, yaitu “polis” yang berarti “kota” atau “negara”. Kemudian kita juga mengenal istilah “city-state” yang berarti “negara kota”. Selain itu, politik juga berhubungan dengan istilah “polite” yang bermakna “kesantunan”. Pada dasarnya, politik yang sesungguhnya akan berpegang teguh dengan kesopanan.

Apabila kita mengarah pada pengertian sedemikian rupa, sudah jelas fitrah politik merupakan aktivitas yang sangat mulia. Jika berbagai makna politik tersebut dihubungkan, maka dapat disimpulkan bahwa, politik adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan berlandaskan sopan santun dalam mengatur masyarakat, serta memiliki sebuah tujuan untuk kebaikan bersama.

Walaupun kita sering mendengar dari media massa bahwa politik itu kotor, buruk, dan kejam. Padahal, jika kita memahami arti politik di atas, fitrah politik tidak lah seburuk apa yang kita bayangkan. Hal tersebut bukanlah arti politiknya yang kotor dan buruk. Tapi, orang-orang yang ada di dalamnya yang tidak bisa mengendalikan bagaimana cara berpolitik dengan baik dan bijaksana. Merupakan hal yang sangat fatal apabila politik dimasuki oleh orang-orang yang tak memilki kriteria pemimpin. Akibatnya, politik dianggap buruk oleh masyarakat. Padahal itu tidak!

Sesungguhnya, berpolitik itu membutuhkan seni bagaimana cara mengatur negara dengan baik, bukan asal masuk dan mengambil peran kepemimpinan untuk mengatur kenegaraan. Dengan mengutip dari pendapat Plato sudah terlihat jelas, bahwa “Negara yang baik adalah negara yang berpengetahuan, dimana negara tersebut dipimpin oleh orang yang bijak (The Philosopher King)”.

Hal senada juga diungkapkan Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-Siyasah al-Syar’iyyah, kepemimpinan (imamah) adalah amanah, maka jalan untuk menempuhnya juga harus diiringi dengan langkah yang benar, jujur dan baik. Tugas yang dipercayakan masyarakat harus dipikul dan dilaksanakan dengan adil dan bijaksana.

Meniru Politik Muhammad
Dalam berpolitik, tentunya para politisi membutuhkan adanya teladan dalam mengatur negara dengan baik. Salah satu pemimpin negara yang patut kita contoh adalah Muhammad. Sejarah dunia mencatat bahwa beliau lah seseorang yang berhasil membawa perubahan revolusioner dalam kepemimpinanya. Tidak sedikit referensi yang tidak memujinya lantaran prestasinya. Bahkan, dalam buku karya Michael H. Heart, meempatkan Muhammad yang paling utama dan pertama.

Mengutip dari pendapat Dr. Muhammad nasih selaku dosen FISIP Uiversitas Indonesia, mengemukakan dalam kesuksesan Muhammad yang wajib kita teladani. Faktor yang mempengaruhi Nabi Muhammad berhasil pada puncaknya ialah berpolitik (baca:kekuasaan).

Keberhasilan Muhammad dalam kepemimpinannya untuk mengatur negara (Mekah dan Madinah), karena Nabi Muhammad memilki setidaknya tiga kualitas dalam seni berpolitiknya. Pertama, bahwa Muhammad memilki sifat fathanah (cerdas). Yaitu, kapasitas keilmuan yang di atas rata-rata. Selain itu, Nabi Muhammad juga mendapatkan petunjuk dari Allah (wahyu). Sehingga beliau mengetahui apa yang belum diketahui orang lain dan bertindak dengan benar. Apabila Muhammad tidak memperoleh wahyu apa yang dilakukannya tetap benar, bahkan tindakannya dijadikan sebuah sunnah.

Faktor kedua ialah kekuatan finansial. Sejak kecil Nabi Muhammad memulainya dengan mengembala kambing. Menginjak dewasa Muhammad beralih menjadi seorang pedagang. Kecerdasan Muhammad dalam berdagang, terutama kejujurannya, mampu memikat hati janda kaya yang benama Khadijah dan kemudian menikahinya. Setelah menerima risalah  kenabian, kemudian Nabi Muammad menggunakan seluruh harta kekayaan yang ia miliki, bahkan Khadijah kemudian juga menyerahkan kekayaannya untuk menopang perjuangannya. Hal yang sangat mustahil apabila perjuangan yang besar tidak membutuhkan kekuatan finansial.

Ketiga, kelihaian dalam berpolitik. Modal yang dimilki Muhammad adalah keikhlasaannya serta sifat shidiq (jujur) untuk menciptakan perdamaian, kesejahteraan dalam masyarakat. Oleh karena itu, Muhammad mendapatkan gelar “al-Amin” dari masyarakat Makkah karena kejujuranya. Di Madinah, Muhammad juga mendapat kehormatan dan kepercayaan, karena telah menyatukan kaum Ansor dan Muhajirin. Sehingga, terbentuk lah perjanjian yang disebut dengan piagam Madinah.

Keberhasilan Muhammad ini perlu untuk dijadikan sebuah panutan penting para politisi sekarang dalam melakukan perbaikan. Untuk bisa menirunya dalam praktik, tiga faktor tersebut harus dimilki oleh para politisi. Sebab perbaikan memerlukan adanya perspektif yang luas untuk mendorong melakukan gerakan. Namun, gerakan tidak mengkin bisa terwujud dengan signifikan apabila tanpa dukungan finansial yang cukup bahkan harus kuat.

Dengan demikian, jika para politisi memiliki kriteria tersebut dalam berpolitik, maka fitrah politik yang memilki tujuan untuk melakukan perbaikan dalam negara pasti akan terwujud. Perlu untuk digaris bawahi, tidak akan mungkin bisa terrealisasi apabila ke tiga faktor tersebut tidak dimiliki seorang politisi masa kini. Ketiganya, merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Wallahu a’lam bi al-Showab.

-Penulis adalah Peneliti Muda di School of Politic and Leadership Monash Insitute & Alumus MA Ki Aji Tunggal Jepara.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Post a Comment

Item Reviewed: Fitrah Politik dan Politisi Pembangun Negeri Rating: 5 Reviewed By: Harian Blora