Harianblora.com Mengucapkan Selamat Menjalankan Puasa Ramadan&Mengajak Warga Jaga Kesehatan&Memutus Penyebaran Corona

Latest News

Kabar bahagia! bagi Anda, mahasiswa, guru, dosen dan siapapun yang ingin menerbitkan buku mudah dan murah, silakan kirim naskah ke formacipress@gmail.com dan kunjungi www.formacipress.com

Tuesday 7 April 2015

Cerpen dengan Judul "Nafas Hutan Jati"

Oleh : Rr.Megandini Listy Indira
Penulis merupakan juara 2 lomba BCB tingkat nasional tahun 2014


NAFAS HUTAN JATI

Semilir angin hilir mudik menerpa rambut panjangku, dedaunan nan rimbun mulai menyapaku, pepohonan nan gagah meneduhi perjalananku, juga aroma tanah yang begitu khas karena baru beberapa hari memasuki musim penghujan. This is part of my life,bagian yang paling aku sukai disetiap perjalananku. Tak ada tempat yang bisa memberikan ketentraman hati selain hutan jati nan hijau ini. Tempat ini selalu menjadi penghibur dan penyegar mata, setelah hampir satu minggu aku penat dengan suasana kota yang penuh dengan rutinitas yang tak pernah berhenti. Bukan hanya rutinitas namun juga berbagai polusinya yang setiap waktu dapat menjadi senjata tajam pengancam kesehatan.
   Aku berhenti sejenak untuk mengobati rasa rindu ku pada hutan jati ini. Sejak kecil aku dibesarkan di desa dan hutan ini mempunyai peran penting selama aku di sini. Aku menghirup udara segarnya, menikmati air hujan dalam setiap resapan  tanahnya, tempat bermain yang teduh dan hal menarik lain. Namun sejak aku SMP, aku jarang sekali mengunjungi tempat ini karena sekolahku di kota. Mulai saat itu juga, kerinduan akan tempat ini sering muncul dan memotivasi diriku untuk semangat belajar agar kelak aku bisa menggerakkan berjuta-juta manusia supaya cinta dengan pohon dan hutan.
Aku duduk di bawah pohon yang teduh, berangan jauh dengan memejamkan mata. Membayangkan beberapa tahun yang akan datang , ketika bumi dihuni oleh bangunan pencengkram langit dan berjajar puing-puing yang megah. Apakah masih ada sepetak tanah untuk satu pohon tumbuh. Aku mulai berfikir dalam-dalam namun tiba-tiba tetes air dari dedaunan membangunkanku. Aku baru sadar aku sudah lama berada di sini. Ku lihat ponsel hitam dalam tasku waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB, juga terdapat 2 pesan dari ibu. Aku harus segera pulang ibu pasti menantiku di rumah.
   Perlahan motor bebek ini menuntunku menuju rumah berdindingkan kayu jati yang telah menanti kepulanganku. Ku parkir motor di teras rumah yang lumayan luas. Ku buka pintu rumah dan aroma masakan ibu pun mulai tercium. Aroma gula jawa serta santan yang begitu khas akan memberi rasa yang legit dan gurih pada setiap potong kelezatan ketela masakan ibu. Aku sudah tidak sabar untuk mencicipinya.
   “Kok lama nduk pulangnya?”tanya ibu.
   “Maaf bu,tadi mampir sebentar waktu lewat hutan ingin liat-liat” jawabku.
   “Ya sudah, setelah kamu makan langsung mandi!”kata ibu.
   “Bapak di mana bu?”tanya ku.
   “Biasa,bapak mu di samping rumah nandur suket”jawab ibu.
         Ayah memang senang sekali berkebun, sering diwaktu senggangnya ayah mencari pohon bonsai untuk menambah koleksinya. Bahkan ayah memiliki bonsai khusus yang umurnya sama sepertiku. Foto bonsai itu juga ia pajang tepat disamping fotoku ketika aku berumur dua tahun. Entah mengapa semenjak aku anak-anak aku pun menyukai hal-hal yang ayah sukai termasuk menyayangi tumbuhan. Tak heran jika lahan di samping rumah yang baru saja di bersihkan ayah tanami dengan rumput jepang. Bukan itu saja, ayah juga senang menanam pohon dengan cara yang berbeda sehingga pohon buah yang ayah tanam lebih cepat tumbuh.
         Selesai makan masakan ibu yang super enak, aku mandi dengan air yang dinginnya seperti es. Tak heran, desa ini termasuk ke dalam dalam dataran tinggi lengkap dengan hutan sehingga suhu maupun airnya dijamin seperti ada di puncak. Tempat ini begitu menyenangkan untukku, beruntung sekali bisa terlahir di tempat ini. Aku memandang keluar jendela, tetes air hujan membasahi kaca hingga berembun. Sungguh indah. Tetes hujan ini begitu indah karena ekosistem masih dalam keadaan stabil, namun jika suatu hari nanti ekosistem sudah tidak seimbang maka hujan ini seperti racun yang siap merusak, membuat besi berkarat, kulit menjadi iritasi, mematikan tanaman dan membuat tanah tandus. Lamunanku sepertinya terlalu jauh, sampai-sampai aku tidak mendengar suara ayah yang memanggilku.
         “Dalem pak, wonten napa nggih?” kata ku.
         “Besok sabtu pulang sekolah ada acara?”tanya ayah.
         “Mboten wonten pak”jawabku.
         “Ikut bapak pertemuan ya, lumayan nanti dapat uang sangu kan bisa buat nambah tabunganmu” kata ayah.
         “Nggih pak” jawabku.
         Senang sekali bisa bisa diajak ke pertemuan yang membahas tentang perberdayaan pohon jati dengan melibatkan masyarakat yang tujuannya meningkatkan perekonomi masyarakat itu sendiri. Kayu dari pohon jati memang memiliki kualitas yang lebih dari pada kayu yang lain terlebih kayu jati yang berasal dari kota blora, tidak dapat dipungkiri bahwa kayu jati blora adalah kayu jati yang terbaik di Indonesia. Hal ini disebabkan karena pohon jati di kota Blora tumbuh di tanah berkapur yang mengandung minyak. Ayahku sendiri pernah bilang bahwa tanaman yang tumbuh di tempat yang berbeda dari tempat seharusnya akan memiliki kualitas yang lebih unggul seperti halnya pohon jati. Jika pohon jati biasa hidup di derah yang subur, pohon jati di blora tumbuh di daerah berbatu, mengandung kapur dan mengandung minyak, sehingga kayu jati dari kota blora  memiliki kualitas unggul. Sayangnya, meski kayu jati yang unggul dengan harga jual yang tinggi ini, tidak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat Blora. Bahkan kota yang terkenal dengan meubelnya bukanlah kota Blora akan tetapi disandang oleh kota Jepara. Ini menjadi bukti bahwa kota Blora dengan pohon Jati endemiknya belum dapat mensejahterakan masyarakatnya.
          Dari cerita itu pula aku semakin tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang bagaimana cara menanam, mengelola dan memberdayakan pohon jati. Bukan hanya pohon jati namun juga hutan. Aku sering sekali mendengar cerita menarik dari ayah seputar hutan, beliau senang sekali bercerita kepadaku bahwa hutan memiliki peran penting di dunia ini. Salah satu alasannya adalah manusia memerlukan oksigen untuk bernafas sedangkan manusia itu sendiri tidak dapat memproduksi oksigen. Hanya tanaman yang dapat melakukannya. Manusia dapat menghirup oksigen dengan gratis tanpa harus dibayar, lalu mengapa mereka tidak mau menanam pohon, toh itu juga untuk diri mereka sendiri. Oleh karena itu aku dan ayah sering menyebut orang yang gemar menanam dan merawat pohon sebagai pekerjaan yang mulia karena mereka telah menyediakan keperluan orang banyak berupa oksigen dari pohon yang telah ditanam dan dirawat.
         Matahari mulai lelah dan senja akan menutup hari, suara riuh gemuruh katak mulai terdengar seperti paduan suara besar-besaran. Aku melepas penat di kursi tua memandang tepat ke tembok kamarku dan melihat  huruf besar bertuliskan KEHUTANAN UGM. Aku harus berusaha keras agar  bisa masuk fakultas itu . Aku harus sukses diujian besok. Ku alihkan pikiran tentang kuliah, segera ku buka buku dan samangat belajarku. Hingga malam semakain larut, suasana semakin sepi bahkan suara-suara katak yang tadinya ramai kini mulai memudar. Hanya bulan dan bintang yang masih bersinar terang. Begitu juga harapanku, masih seperti mereka.Sepertinya lelah mulai menggerutu, ku rebahkan tubuhku di kasur yang tidak terlalu luas dan  empuk, yang terpenting aku dapat beristirahat dengan nyenyak malam ini. Dingin ini begitu menusuk tulang, ku tarik selimut tebalku, memejamkan mata dan terlelap dalam tidur.
         Suara kokok ayam riuh membangunkanku, terlebih di belakangku ada kandang ayam milik ayah. Bergegas aku bangun, berjalan di antara puing-puing dari kayu jati yang sudah  tua, memandang langit-langit yang menghitam karena asap. Ku buka pintu tua yang engselnya mulai lapuk, setelah  mengambil air ku usap-usap mataku dengan air  yang dinginnya seperti es. Mataku yang semula buram kini terbuka seketika. Aku segera melaksanakan sholat subuh dengan keluarga. Setelah itu aku akan berjalan-jalan melihat sunrise.
         Ku buka pintu rumah, ku lihat keluar. Hembusan angin mulai surut seiring berjalannya waktu dan bunyi kokok ayam yang bersahut-sahutan. Namun mentari belum tampak dan masih bermalas-malasan. Dedaunan yang hampar tanpa air kini pun menjadi basah. Aku mulai berjalan tanpa menggunakan alas kaki, begitu dingin. Sebagian kabut yang belum menjadi embun membuat sawah, gunung, pohon dan rumah-rumah seperti hamparan dunia yang melayang di atas awan. Sungguh indah.
         Kerikil yang basah memberi relaksasi yang menyegarkan. Aku mulai berjalan ke bukit untuk melihat matahari terbit. Langit masih berkabut, namun aku melihat cahaya kecil yang menyala, perlahan-lahan memerah semakin besar dan semakin besar kemudian menguning semakin terang lalu menjadi putih karena tertutup oleh kabut. Luar biasa indah walau hanya beberapa detik saja. Bahkan aku dapat melihat hutan jati yang diselimuti kebut dari sini. Semakin menambah kepuasaanku. Hari  mulai terang aku akan segera pulang membantu ibu kemudian berkebun.
         Sesampainya di rumah ternyata ibu sudah memasak sehingga aku tak perlu lagi membantu. Aku langsung pergi ke samping halaman. Ku lihat bunga gelombang cinta sudah mulai berbunga dan menjatuhkan biji. Segera ku ambil biji-biji itu kemudian menanamnya pada gelas air mineral dan meletakkannya rapi di samping biji-biji yang mulai tumbuh karena sudah 1 minggu yang lalu aku menanamnya. Aku senang sekali mengoleksi tanaman yang bijinya aku dapat dari bunga-bunga yang ditanam ayah. Bahkan sudah lebih dari dua ratus jumlahnya. Kali ini aku mendapat tiga puluh biji bunga gelombang cinta yang sudah aku tanam. Hari ini cukup banyak biji yang aku tanam dan aku mulai lapar. Saatnya sarapan.
         Ehm…nasi goring ibu selalu menjadi juara. Enak sekali rasanya, komposisi bumbu yang pas dipadu dengan telur setengah matang dan taburan bawang goreng yang gurih membuat aku menghabisnya hingga tak tersisa. Kenyang setelah sarapan, aku ke kamar untuk merapikan buku dan menyiapkan apa-apa saja yang harus aku bawa karena nanti sore aku harus kembali ke Blora. Namun saat aku sedang merapikan buku, tiba-tiba ponsel hitamku berdering. Ternyata dari Ara ketua osisku.
         “Halo,assalamualaikum…!”salam Ara.
         “Wa’alaikumsalam, ada apa Ra?”tanyaku.
         “Aduh Megan, maaf banget ya…!”kata Ara.
         “Loh…memangnya ada apa kok minta maaf?”tanyaku.
         “Gini Gan, rencana program kerja kamu buat Go Green itu ditolak sama Pembina dan dana untuk program itu katanya lebih baik untuk program yang lain kecuali osis bisa cari dana sendiri baru boleh ngadain acara itu”jelasnnya.
         “Tapi Ra, acara itu penting buat aku bukan cuma aku tapi orang lain juga bisa dapat manfaat kalau kita ngadain acara itu, bagaimana kalau kita cari dana sendiri?”tanyaku.
         “Oke, enggak masalah tapi kamu pikirin gimana caranya ya, aku banyak kerjaan soalnya”jawabnya.
         “Baik Ra”jawabku.
         Aku sudah lama memimpikan dan merencanakan acara ini dan aku tidak akan menyerah hanya karena Pembina menolak program kerjaku. Aku akan berjuang untuk mencari dana, tapi bagaimana caranya. Ya…Tuhan tolong aku, aku berniat baik dengan adanya acara ini. Aku benar-benar pusing, aku menatap keluar jendela dan berkata dalam hati “Apa yang harus aku lakukan untuk mencari dana?”. Aku mulai kesal dengan kabar ini dan melempar gumpalan kertas keluar dan mengenai gelas air mineral berisi tanaman gelombang cinta yang tingginya baru 5cm. Dari kejadian itu, tiba-tiba otakku terisi oleh ide gila. Aku akan menjual bibit bunga gelombang cinta untuk kegiatan Go Green. Aku yakin banyak orang yang masih peduli dengan lingkungan. Aku yakin bahwa aku bisa melakukan ini.
         Segera aku kemas semua bibit bunga gelombang cinta yang ada di rumah. Ayah dan ibu yang melihatku hanya dapat menggelengkan kepala bingung dengan apa yang anaknya lakukan. Tapi ketika rencanaku berhasil, aku jamin mereka akan bangga kepadaku. Setelah semuanya siap aku meminta ayah untuk membantu membawa bawaanku sampai aku mendapatkan angkutan umum. Selang beberapa menit bus menuju Blora sudah tiba, aku mencium tangan ayah dan berpamitan tak lupa meminta doa restu. Aku masuk ke dalam bus lalu melambaikan tangan ke ayah. Nuraniku tiba-tiba berkata “Kau akan berhasil”.
         Tepat pukul 16.00 WIB, aku sampai di Blora. Aku langsung memberi tahu ketua osis dan meminta mengadakan rapat besok. Ara pun bersedia, ia juga sangat mendukungku. Aku senang mendengarnya, bahkan aku sudah tidak sabar untuk memulai kegiatan ini. Malam ini aku akan membuat tulisan untuk menarik orang agar mau menyumbang dengan membeli bibit bunga gelombang cinta ini. Tak perlu berfikir lama aku pun tahu kata apa yang pantas digunakan. Inilah kata yang aku buat “Satu Gelombang Cinta Sejuta Cinta pada Pohon”. Semoga ini akan berhasil.
         Sepulang sekolah aku dan teman-teman osis berkumpul membahas rencana pencarian dana untuk acara Go Green. Tidak ku sangka ternyata teman-teman juga begitu bersemangat dalam pencarian dana. Kami berencana melaksanakan kegiatan ini besok sore. Aku dan teman-teman mulai menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Nadya dan Bella juga sibuk membuat kata-kata untuk menarik orang agar mau menyumbang. Sedangkan Nafa dan Osa sedang sibuk membuat kotak untuk membawa bibit dan tempat sumbangan. Ayo berjuang.
         Keesokkan harinya, aku dibantu teman-teman bergotong royong membawa bibit bunga gelombang cinta ke tempat pencarian dana di sekitar Alun-Alun kota Blora dan di jalan Pemuda. Kami mulai berbagai tempat dan memulai ajang pencarian dana. Kami pun beramai-ramai untuk menarik orang-orang untuk membeli bibit bunga ini. Beberapa menit kemudian, bibit yang kami jual mulai ramai. Hanya beberapa saja yang masih tersisa. Aku beristirahat di bawah pohon beringin yang rindang. Sambil bendahara osis Fia menghitung uang yang didapat hari ini. Aku bersantai sejenak di bangku, namun tiba-tiba seorang laki-laki berbadan besar menghampiriku.
         “Apa yang kalian lakukan di sini?”tanyanya tegas.
         “Maaf  Pak, kami hanya menjual bibit bunga gelombang cinta agar mendapatkan dana untuk kegiatan Go Green kami”jawabku.
         “Siapa yang mengetuai acara ini?!”tanyanya lebih tegas.
         “Sa…sa…sa…saya Pak”.jawabku terpatah-patah.
         “Siapa nama kamu?!”bentaknya.
         “Meganandira Dinara Pak”jawabku menunduk.
         Setelah aku menjawab semua pertanyaannya tiba-tiba Bapak tadi pergi begitu saja. Aku tidak tahu apa maksud Bapak tadi. Teman-teman yang melihat hanya bengong melihatku. Entahlah, tak ku perdulikan lagi apa yang telah terjadi tadi. Aku mengajak teman-teman untuk bersiap-siap pulang dan melanjutkannya besok sore. Peralatan-peralatan yang digunakan dititipkan ke kos ku karena dekat dengan tempat berjualan sehingga mudah mengambil nantinya.
         Malam ini tak sedingin kemarin, namun langit sangat gelap mungkin akan segara turun hujan. Semoga besok saat aku dan teman-teman berjualan tidak turun hujan. Aku menutup jendela kembali fokus belajar pelajaran besok. Bagaimanapun juga nilaiku tidak boleh jatuh karena sibuk mengurusi acara ini. Namun entah mengapa aku memikirkan kejadian tadi sore. Siapa Bapak yang bertanya kepadaku tadi, sepertinya dia peduli dengan kegiatanku dan teman-teman atau mungkin hanya perasaanku saja. Lebih baik aku tidur, mungkin aku terlalu lelah setelah kegiatan tadi.
         Sinar matahari tajam membangunkan dari tidur lelapku. Hari ini ada upacara, aku tidak boleh terlambat berangkat sekolah. Setelah mandi, aku sarapan dan berangkat sekolah. Mengajuh sepedaku yang mulai timbul karat dan membawa tas yang isinya penuh dengan buku paket yang tebal. Sesampainya di gerbang sekolah aku melihat anak-anak sudah mulai berkumpul di depan sekolah. Padahal ini baru pukul 06.40 WIB, tidak seperti biasanya. Bahkan teman-teman osis sudah menempati posisi masing-masing. Aku segera memarkir sepeda ku. Aku bertanya pada teman-teman, namun tidak ada yang tahu ada acara apa hari ini.
         Setelah aku ikuti, ternyata sekolah kedatangan tamu dan sepertinya aku kenal. Itukan Bapak yang kemarin, apa yang ia lakukan disini. Hatiku pun terkejut saat ia tiba-tiba memanggil namaku dan memberiku penghargaan sebagai pemuda peduli lingkungan. Tidak hanya itu, beliau juga membantu program kami untuk Go Green dan yang paling menyenangkan aku dan teman-teman diajak untuk menanam pohon jati di hutan dekat desaku. Aku sangat bahagia, tidak ku sangka kalau begini jadinya. Aku dan teman-teman bersorak riang mengdengar kabar ini. Minggu depan kami sudah diajak untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial yang berhubungan dengan lingkungan.
***10 Tahun Kemudian***
         Aku rasa tempat ini masih sama seperti yang dulu, mungkin lebih hijau. Nafas hutan jati masih sangat aku rasakan begitu segar begitu sejuk dan begitu damai. Aku masih ingat saat aku berangan tentang masa depan di bawah pohon ini. Ternyata masih ada sepetak tanah untukmu tumbuh bahkan lebih. Kami akan selalu menjagamu seperti halnya kau menjaga kami hutan, kau beri kami udara yang sejuk dan sehat, air yang berkecukupan dan makanan yang kau sediakan.
         “Ya Allah…terima kasih atas bantuan yang Engkau berikan kepada kami 10 tahun yang lalu untuk menjaga hutan ini. Semoga kami tidak hanya dapat menjaga hutan ini dalam waktu 10 tahun namun semoga anak cucu kami dapat menjaganya untuk selama-lamanya.Amin”

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Post a Comment

Item Reviewed: Cerpen dengan Judul "Nafas Hutan Jati" Rating: 5 Reviewed By: Harian Blora