Harianblora.com Mengucapkan Selamat Menjalankan Puasa Ramadan&Mengajak Warga Jaga Kesehatan&Memutus Penyebaran Corona

Latest News

Kabar bahagia! bagi Anda, mahasiswa, guru, dosen dan siapapun yang ingin menerbitkan buku mudah dan murah, silakan kirim naskah ke formacipress@gmail.com dan kunjungi www.formacipress.com

Thursday 11 December 2014

Cerpen Sebuah Kotak Merah untuk Bintang



 
Oleh: Muhamad Khoirul Umam
Lulusan Magister UIN Walisongo Semarang.
Bintang adalah penjaga warnet di kampus hijau. Ia bekerja sesuai jadwal shiftnya jaga. Ia telah melamar kerja di beberapa instansi, tetapi hanya warnet kampus tersebut yang menerimanya. Namun, ia tidak merasa malu dan minder dengan profesi barunya itu. Ia tetap pede ketika bersua dengan adik-adik kelasnya yang sering memanfaatkan jasa warnet tersebut. Ia senang ketemu dengan mereka,menjalin silaturahmi dan komunikasi, positive thinking dari Bintang, selain juga dapat pemasukan finansial yang berarti.Hanya saja, ia merasa rendah diri jika berhadapan dengan Handoko, salah seorang sahabatnya yang telah menjadi orang sukses, menurut versinya tentunya.

Bintang merupakan mahasiswa sarat prestasi ketika kuliah S1. Beberapa tulisan ilmiah populernya pernah menghiasi beberapa media massa di tingkat lokal. Bahkan ketika Bintang duduk bangku SMA, ia pernah menjadi jawara lomba pidato bahasa Indonesia dan menulis beberapa puisi di majalah dinding sekolahannya. Sewaktu mahasiswa, ia dikenal sebagai aktivis tulen di beberapa organisasi. Tak mengherankan, ia sangat piawai mengatur kata dan nada bicaranya, dan jago berdiskusi dan berdebat.

Secarafisik, Bintang emang kerempeng. Rambutnya cepak dan lurus. Wajahnya memang cute dan manis mirip bintang Hollywood kenamaan, Tom Cruise yang berperan di film MissionI mpossible. Ketika kerja, ia selalu berbusana rapi. Senyumnya punya magnet tersendiri bagi kaum hawa untuk sekadar pergi ke warnet bertegur sapa atau say hello padanya. Bagi Bintang, mereka adalah pelanggan yang memberikan pemasukan finansial di tempat kerjanya.

Siang yang terik. Udara panas menyengat kulit. Bintang menyalakan AC pendingin di ruang kerjanya. Untuk mengatasi rasa dahaga yang bikin kering tenggorokannya, satu botol air mineral telah ia habiskan.

Tiba-tiba ada wanita berkerudung putih yang mendekatinya,

"Mas Bintang ya, aktivis yang suka nulis itu ya?" tanya si wanita berjilbab putih.

"Iya, dulu," jawab Bintang sekenanya.

"Maaf, Anda siapa? Dan dari mana Anda tahu nama saya?"

"Perkenalkan, nama saya Nastiti," jawab si wanita berkerudung putih yang berhiaskan manik-manik bunga-bunga krisan kuning.

"O," kata Bintang singkat sambil mengambil uang receh kembalian untuk seorang bapak tua yang berkumis lebat yang telah selesai internetan.

"Terimakasih, Pak," kata Bintang pada si bapaktua.

Si bapak tua hanya tersenyum simpul. Lelaki paruh baya tersebut tidak menjawab ucapan terimakasih dari bibir Bintang. Ia berlalu secepat kilat dari warnet yang bercat hijau tersebut. Si bapak masuk ke dalam mobil Avanza putih metaliknya yang diparkir di depan warnet.

"Hm, Ada perlu apa Anda dengan saya?" tanya Bintang.

"Maaf, Mas, jika saya mengganggu sedikit waktu Anda," kata Nastiti.

"Ah, nggak apa-apa, tolong katakan ada perlu apa dengan saya," kata Bintang dengan sedikit memperhalus kata-kata yang telah diucapkannya sebelumnya.

"Begini, Mas. Tapi saya mohon Mas jangan marah," pinta Nastiti.

"Oke, I promise," kata Bintang mengiyakan.

"Kami ingin Mas mempublikasikan beberapa cerpen dalam bentuk buku. Saya mewakili dari sebuah penerbit buku di kota D ingin agar Mas bisa membagi cerita-cerita pendek Mas pada khalayak pembaca," kata Nastiti menjelaskan.

"Maaf, Anda salah orang. Saya nggak bisa nulis cerpen,"kata Bintang merendah.

Bintang memang punya keinginan menerbitkan karya-karyanya yang tersimpan di almari rumahnya. Tapi, ia bingung karena tidak mempunyai uang yang cukup untuk menerbitkannya sendiri. Ia tidak ingin berutang dari bank. Karena untuk berutang, harus ada jaminan berupa BPKB ataupun sertifikat tanah. Dan untuk melakukan hal itu, ia tidak cukup nyali untuk melakukannya.

Wajah Nastiti memerah mendengar jawaban spontan dari Bintang tersebut. Sekian detik lamanya Nastiti terdiam seribu bahasa. Ia tak mampu berkata-kata. Nastiti grogi dan salah tingkah.

Beberapa saat kemudian, Nastiti bisa menguasai dirinya dan mencoba meyakinkan Bintang.

"Mas, selaku penerbit, kami akan memberikan royalti yang lebih daripada para penerbit yang lain. Kami tahu Mas bisa nulis cerpen dari kawan Mas yang tidak mau disebutkan namanya. Jika Mas belum bisa menjawabnya, ini kartu nama saya dan sekaligus tertera nomor hape saya dan juga nomor telpon penerbit di mana saya bekerja. Mas bisa kontak ke penerbit saya dan bisa langsung tanya ke direktur penerbitnya langsung. Maaf, saya pamit mohon diri sekarang," kata Nastiti sambil melangkah keluar dari warnet di mana Bintang bekerja. Ia langsung masuk ke dalam mobil Innova merahnya dan menstarternya, kemudian melaju pelan-pelan meninggalkan warnet yang mulai sepi pengunjung.

Bintang merasa bingung dengan tawaran mendadak dari Nastiti. Ia harus meminta pertimbangan dari seorang rekan yang telah lama berkecimpung di dunia penerbitan buku. Maka, Bintang memutuskan untuk menemui Handoko, yang telah berkibar sebagai penulis andal dan telah menulis beberapa karya bermutu dan sebagian besar menjadi bestseller ditingkat nasional, pada sore harinya di hari itu.

Usai bekerja, Bintang menstarter sepeda motor bututnya menuju kediaman Handoko, teman karibnya ketika ia masih menjadi mahasiswa S1. Ia memencet bel rumah megah bertingkat dua, yang dikelilingi taman bunga yang indah dan kolam ikan,yang dipenuhi banyak ikan koi. Setelah tiga kali bel dibunyikan, keluarlah seorang wanita paruh baya yang berkacamata minus, yang tak lain adalah ibunyaHandoko.

"Mau ketemu Handoko ya?" tanya si ibu dengan ramah.

"Silakan masuk," kata si ibu mempersilakan.

"Iya. Terimakasih. Saya telah menelponnya tadi untuk janjian ketemu dengan Handoko. Jika nggak nelpon, takutnya Handoko sedang sibuk menulis novel atau mengisi acara diskusi atau seminar sastra di suatu kota," kata Bintang menjelaskan dengan gamblang.

"O, gitu. Maaf, saya masuk dulu," kata si ibu.

"Handoko baru aja pulang dari kuliah, sekarang lagi mandi tuh."

"Nggak apa-apa, Bu. Saya akan menunggunya," kata Bintang.
Ketika si ibu masuk, Bintang mengamati kondisi ruangan tamu yang tertata dengan rapi dan apik. Ia rasakan sebuah perbedaan yang begitu mencolok antara dirinya dengan Handoko. Ia hanya penjaga warnet biasa dan Handoko adalah orang yang sukses menulis dengan karya-karyanya, baik kumpulan cerpen, novel, antologi puisi, dan beberapa buku motivasi.

Ibu Handoko membawa seteko jus jeruk untuk Bintang, kemudian menuangkannya ke sebuah cangkir gelas yang besar pada Bintang. Ia hanya menatap terbengong-bengong dengan peristiwa di hadapannya. Jus jeruk,sungguh sesuatu yang rasanya belum pernah ia nikmati selama ini. "Apakah aku sedang bermimpi?" tanya Bintang membatin pada dirinya sendiri. Bintang mencubit dan merasakan sakit yang luarbiasa di lengannya. Berarti, aku sedang berada di alam realita, tidak berkhayal ataupun berhalusinasi.

Setelah setengah jam lamanya Bintang menunggu, Handoko keluar dengan memakai celana jeans biru dan kaos bergambarkan Mickey Mouse. Wajahnya tampak segar dan sumringah. Ia menyambut Bintang, sahabatnya itu yang jarang bertemu sejak mereka lulus kuliah S1, dengan senyuman dan jabat tangan hangat.

"Oh kamu to Bintang, kirain siapa. Lama nian kita tak bersua. Gimana kabarmu?" tanya Handoko.

"I'm fine," jawab Bintang dengan bahasa Inggris yang masih fasih.

"Ternyata pronounciation-mu masih juga bagus, bro. Aku salut ma kamu. Jus jeruknya nggak diminum?" ujar Handoko.

"Udah dua cangkir aku abiskan sembari menunggumu mandi," jawab Bintang.

"Ah biasa saja. Kamu jangan melebih-lebihkan begitu. Aku yang seharusnya salut ma kamu. Kamu telah mendapatkan segalanya dengan menulis dan berkarya. Sedangkan aku...............," ujar Bintang tersendat. Ia tidak kuasa meneruskan kata-katanya.

"Kenapa, Bin?" tanya Handoko penasaran.

"Ada apa denganmu? Eh, by the way, kamu kerja di mana dan sebagai apa?"

"Itulah masalahnya. Aku nggak sehebat kamu yang bisa menulis dan menghasilkan banyak materi dari situ," kata Bintang.

"Tau nggak, Bin. Aku sebenarnya belajar dari kamu ketika kita mahasiswa S1 dulu. Kamu kan yang ngajari aku bagaimana membuat artikel, cerpen. Kamu masih ingat kan?" tanya Handoko.

"Udah lupa tuh," jawab Bintang.

"Aku hanya penjaga warnet di kampus S1 kita dulu. Aku merasa malu denganmu, yang sekarang telah jadi orang hebat dan sukses."

"Ah jangan gitu, kawan. Sukses atau tidaknya itu tergantung dari sudut mana kita memandang. Aku yakin kamu masih bisa untuk meraih kesuksesan itu dari apapun profesi dan apa yang kamu tekuni," kata Handoko menyemangati sahabat karibnya tersebut.

Bintang menjelaskan maksud kedatangannya pada Handoko secara panjang lebar. Ia ditawari oleh Nastiti yang mewakili sebuah penerbit ternama di kota D untuk membukukan karya-karya cerpennya. Dan menurut Nastiti dan penerbit tersebut, ia dijanjikan akan mendapatkan imbalan royalti yang berlebih daripada beberapa penerbit yang lain. Bintang belum bisa memutuskan untuk menyetujui atau tidak tawaran tersebut. Ia masih gamang dan bimbang. Bintang memohon urun rembuk dan pendapat dari Handoko, selaku penulis yang telah malang melintang di dunia penerbitan buku.

"Bin, sanggupi dan setujui aja permintaan Nastiti tersebut. Aku yakin kamu bisa. Sekarang, telponlah Nastiti dengan hapeku ini. Mana nomernya?" tanya Handoko sambil menyerahkan hape kamera terbarunya.

"Baiklah," kata Bintang sambil memencet nomor hape Nastiti. Ia memastikan dengan teliti bahwa nomor yang ditekannya sesuai dengan kartu nama yang diberikan oleh Nastiti.

"Halo, assalamu 'alaikum. Benar, ini, Nastiti dari penerbit buku X?" tanya Bintang.

"Halo juga, Wa 'alaikum salam warohmatullah wabarokatuh. Iya, saya Nastiti. Maaf, ini siapa dan apa yang bisa saya bantu?" tanya Nastiti dengan suara yang lembut dan halus.

"Maaf, saya Bintang, yang Anda temui di warnet kampus hijau. Anda masih ingat saya?" tanya Bintang.

"Iya, saya masih ingat. Gimana keputusan Anda, deal?" tanya Nastiti.

"Iya, saya terima. Saya akan menerbitkannya melalui Anda," jawab Bintang dengan optimis.

Sejak saat itu, kumpulan cerpen Bintang diterbitkan oleh penerbit buku X di kota D, di mana Nastiti bekerja. Kumpulan cerpennya diterbitkan. Setelah beberapa bulan lamanya, sejak diterbitkan dan didistribusikan, buku tersebut mendapat apresiasi yang baik dari pembaca. Buku perdananya tersebut menjadi buku bestseller di tingkat nasional. Bintang mendapat royalti 5 milyar rupiah dan mendapat sebuah kotak merah dari penerbit tersebut.

"Apaan ini?" tanya Bintang pada Nastiti yang tersenyum simpul.

"Buka aja," jawab Nastiti.

Bintang membuka sebuah kotak merah yang diserahkan padanya oleh Nastiti dengan hati-hati. Ia penasaran dengan isi yang ada di dalamnya. "Apa isinya ya?" tanya Bintang membatin pada dirinya sendiri.

"Ini kunci apa?" tanya Bintang pada Nastiti nggak paham.

"Itu kunci mobil dan rumah yang dihadiahkan penerbit buku kami kepadamu," jawab Nastiti menjelaskan dengan seksama.

Bintang sujud syukur dan berucap hamdalah beberapa kali. Tak kuasa menahan haru, sebutir airmata Bintang menetes di sebuah rumput yang menghijau. Bintang larut dalam kebahagiaannya. Buku perdana yang akan membuatnya menjadi penulis buku sekaligus memacunya untuk menghasilkan karya-karya berikutnya. 

"Thanks to Allah. Terimakasih Nastiti dan orang-orang yang mencintai, mendukung dan men-supportku selama ini. Tanpa kalian, aku tak berarti apa-apa," kata Bintang dengan terbata-bata.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Post a Comment

Item Reviewed: Cerpen Sebuah Kotak Merah untuk Bintang Rating: 5 Reviewed By: Harian Blora